Saat duduk tahiat di dalam shalat, mayoritas dari kita mengucapkan “al-salamu ‘alayka ayuhannabiy”. Kalimat ini sebenarnya menjadi salah satu topik yang diperselisihkan oleh para ulama.
Ucapan salam kepada Nabi menggunakan “ka” yang artinya engkau. Seolah saat kita mengucapkan salam itu Nabi Muhammad ada di depan kita. Tapi bukankah Nabi Muhammad sudah meninggal? Iya benar, tapi menurut riwayat, setiap kita ucapkan salam kepada junjungan kita ini, Allah kembalikan ruh beliau dan beliau menjawab salam kita. Bisa dibayangkan setiap detik betapa banyak orang yang bershalawat dan menyampaikan salam kepada beliau baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Itu artinya beliau SAW tidak pernah “meninggalkan” umatnya. Beliau manusia khusus, tidak sama dengan kita.
Sebagian pihak beranggapan kalau anak cucu Adam meninggal maka terputuslah semua koneksi dengan yang masih hidup, termasuk Nabi Muhammad. Dengan asumsi ini mereka menganggap meminta tolong kepada yang sudah wafat, termasuk kepada Nabi Muhammad sekalipun, adalah perkara yang tidak bisa diterima. Sudah wafat, ya sudah. Selesai.
Untuk itu sebagian pihak mengganti bacaan tahiat saat shalat, bukan lagi dengan “al-salamu ‘alayka ayuhannabiy” tapi menjadi “al-salamu ‘alannabiy”. Begitulah yang disebutkan oleh Syekh al-Albany. Beliau ini kan pentolan Wahabi. Jadi pendapatnya seperti itu. Beliau mendasarkan pendapatnya pada riwayat Ibnu Mas’ud yang mengganti kalimat di atas setelah wafatnya Nabi.
Yang menarik, ulama besar Wahabi lainnya, yaitu Syekh Utsaimin menganggap perubahan kalimat yg dilakukan Ibnu Mas’ud itu hanya ijtihad Ibn Mas’ud saja, karena tidak ada perintah atau petunjuk dari Nabi untuk mengubah kalimat di atas setelah Nabi wafat.
Dilemma kawan-kawan Wahabi di sini: kalau tetap pakai “al-salamu ‘alayka” seolah-olah Nabi masih hidup di depan kita dan berarti bisa dimintai bantuan (tawasul) padahal ini bisa jadi syirik. Akan tetapi kalau diubah kalimatnya menjadi “al-salamu alannabiy” bisa jatuh ke dalam bid’ah karena yang mengubah itu Ibnu Mas’ud bukan Nabi sendiri. Jadi, pilihannya bukan sekedar ikut Syekh al-Albani atau Syekh Utsaimin (kedua tokoh Wahabi yang berbeda pandangan dalam hal ini), tapi pilihannya bisa begini: mau syirik atau bid’ah nih? smile emoticon smile emoticon
Biarlah kawan-kawan Wahabi yang menyelesaikan perdebatan di atas. Saya lebih tergugah membaca puisi Kiai panutan saya, KH Ahmad Mustofa Bisri yang menulis apa yang beliau rasakan saat duduk tahiat. Siapa gerangan yang beliau lihat ada di depan beliau saat duduk tahiat? Ahhh bergulir air mata ini membaca “al-salamu ‘alayka ayuhannabiy…..”
DALAM TAHIAT
(A. Mustofa Bisri)dalam tahiat
kulihat wajahmu berkelebat
ke mana gerangan kau berangkat?
berhentilah sesaat
beri aku kesempatan munajat
atau sekedar menatap isyarat
sebelum nafsuku menghentikan salat1415
Jadi, kawan….setiap kita membaca salam kepada Nabi dalam duduk tahiat, ingat-ingatlah sejatinya Kanjeng Nabi SAW ada di depan kita….
Salam hangat,
Nadirsyah Hosen