Sebelum mengeluarkan fatwa, para ulama harus terlebih dahulu mengetahui kaidah yang dapat digunakan untuk menggali hukum amaliah dari dalil yang terperinci. Pengetahuan ini bersumber dari disiplin ilmu klasik, yaitu Ushul al-Fiqh. Tiada fiqh tanpa melalui Ushul al-Fiqh. Kalau ilmu fiqh bicara soal halal-haram, maka ilmu Ushul al-Fiqh bicara proses yang mendasari halal-haram tersebut.
Imam Syafi’i (w. 204 H) dianggap sebagai ulama yang pertama kali secara sistematis menulis kitab Ushul al-Fiqh lewat karyanya al-Risalah.
Setelah itu bermunculan kitab yang ditulis para ulama untuk menjelaskan (syarh) apa yang disampaikan Imam Syafi’i dan ada pula yang mengkritisi isi kitab beliau. Para ulama Iraq yang mengikuti mazhab Hanafi misalnya seperti al-Kannani (w. 289 H) dan al-Qummi (w. 305 H) masing-masing menulis kitab al-Hujjah fi al-Radd ‘ala al-Syafi’i dan Ma Khalafa fihi al-Syafi’i al-Iraqiyyin fi Ahkam al-Qur’an. Tentu saja para ulama pengikut Imam Syafi’i mempertahankan dan menjelaskan kitab al-Risalah, misalnya nama-nama seperti al-Sayrafi (w. 330 H), al-Nisaburi (w. 365 H), dan al-Jawzaqi (w. 388). Dibutuhkan sekitar 2 abad untuk para ulama memperdebatkan disiplin ilmu ushul al-fiqh yang dikembangkan oleh Imam Syafi’i.
Pada abad 5 Hijriah, para ulama mulai menyusun ulang isi kitab ushul al-Fiqh. Dua ulama besar yang terkenal sebagai hakim agung pada masanya merintis ulang usaha ini. Al-Qadli al-Baqillani (w. 402) ulama ahlus sunnah wal jama’ah dari mazhab Maliki digelari Syekh Ushuliyyin setelah menulis al-Taqrib wal Irsyad. Sayangnya kitab ini dikabarkan sempat hilang dan hanya kita ketahui pentingnya kitab ini dari sejumlah ulama klasik yang sering merujuk pada karya besar ini. Kabarnya belakangan kitab ini ditemukan dalam bentuk manuskrip di Cairo.
Al-Qadli Abdul Jabbar (w. 415 H) yang merupakan tokoh Mu’tazilah menulis kitab Ushul al-Fiqh berjudul al-‘Amd (dua jilid). Kitab ini dikomentari oleh Abu al-Husayn al- Basri (w. 435 H) dalam al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh. Beliau ini ulama yang cukup “aneh” karena dalam ilmu kalam mengikuti mazhab Mu’tazilah namun dalam hal fiqh beliau mengikuti mazhab Syafi’i.
Al-Juwayni (w. 478 H) yang diberi gelar Imam al-Haramain, selain meringkas kitab al-Baqillani, juga menulis kitab sendiri yang juudlnya al-Burhan fi Ushul al-Fiqh. Imam al-Haramain ini merupakan guru dari Imam al-Ghazali. Yang menarik, Imam al-Haramain mengaitkan antara ilmu kalam dengan Ushul al-Fiqh. Beliau juga lebih jauh menjelaskan berbagai topik yang dibahas oleh Imam Syafi’i. Namun demikian, sebagai seorang ulama kaliber dunia, beliau juga turut menyampaikan kritikan terhadap Imam Asy’ari dan Imam Syafi’i serta ulama lainnya. Keberanian beliau ini mendapat komentar tajam dari para ulama seperti al-Maziri (w. 536 H) dan al-Abyari (w. 616 H) dari mazhab Maliki yang tidak bisa menerima Imam al-Haramain mengkritik Imam Malik.
Imam al-Ghazali (w. 505 H) meneruskan gaya kontroversial gurunya. Tidak tanggung-tanggung Imam al-Ghazali menulis 4 kitab berbeda dalam disiplin ilmu ini. Kitab terakhirnya yang dijadikan rujukan luas yaitu al-Mustasfa. Imam al-Ghazali juga tidka segan berbeda pandangan dengan Imam Syafi’i. Jadi hal yang wajar saja kalau murid berbeda pandangan dengan guru atau bahkan kakek gurunya. Tapi tetap saja Imam al-Haramaindan Imam al-Ghazali tidak keluar dari mazhab Syafi’i, tidak seperti Imam Abu Tsaur, Imam Ahmad dan Imam Dawud yang ketiganya mendirikan mazhab sendiri.
Bagaimana dengan mazhab di luar Syafi’i? Al-Sarkhasi (w. 423 H) dari mazhab Hanafi yang digelari Syamsul al-A’immah menulis kitab al-Ushul. Begitu juga Imam al-Jassas (w. 370 H) menulis kitab dengan judul serupa. Sebelumnya ada lagi al-Dabusi (w. 340 H) yang menulis Taqwim al-Adillah. Pengaruh al-Dabusi dan Sarakhsi dalam pembahasan ushul al-fiqh di mazhab Hanafi sangat kuat. Corak pembahasan Syafi’iyah dan jumhur ulama (Mutakallimin) dengan Hanafiyah dalam kajian Ushul al-Fiqh memang berbeda.
Pada abad ketujuh Hijriah, disiplin ilmu Ushul al-Fiqh sudah dianggap mapan. Maka mulailah pada periode ini penggabungan kitab, peringkasan dan penjelasan atas ringkasan kitab-kitab sebelumnya. Empat kitab utama yaitu al-‘Amd, al-Mu’tamad, al-Burhan dan al-Mustasfa digabung pembahasannya oleh dua ulama besar. Pertama, al-Amidi (w. 631 H) dari mazhab Syafi’i meringkasnya dalam al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Lantas diringkas kembali oleh Ibn Hajib (w. 646 H) dalam Muntaha al-Sul. Oleh pengarangnya sendiir, buku ini kemudian diringkas kembali dalam Mukhtasar Ibn al-Hajib. Lantas pembahasan yang sudah ringkas, diberi komentar panjang oleh ‘Udad al-Din al-Iji (w. 756 H), al-Syirazi (w. 710 H) dan al-Asfahani (w. 749 H).
Kedua, Fakhr al-Din al-Razi dari mazhab Syafi’i (w. 606 H) menulis al-Mahsul yang merupakan ringkasan dan gabungan dari 4 kitab utama di atas. Dari mazhab Maliki, Imam al-Qarafi (w. 684 H) menulis Tanqih al-Fusul fi Ikhtisar al-Mahsul. Ringkasan al-Mahsul ini kemudian diberi penjelasan sendiri oleh beliau dalam kitabnya Syarh Tanqih al-Fusul. Al-Armawi (w. 656) ikut meringkaskan al-Mahsul dalam kitabnya al-Hasil (Tahsil al-Mahsul). Al-Baydawi (w. 685) kemudian meringkaskan kembali al-Hasil dalam karyanya Minhaj al-Wusul.
Namun karena diringkas dari ringkasan orang jadi susah mengerti karena itu al-Asnawi (w. 772 H) menjelaskan Minhaj-nya al-Baydawi dalam kitabnya Nihayat al-Sul. Begitu juga al-Badakshyi berusaha menjelaskannya dalam Manahij al-Uqul yang populer dengan nama Syarh Badakhsyi. Kitab Nihayat al-Sul karya Asnawi diberi penjelasan yang luar biasa oleh Prof Abu Nur Zuhair dalam kitab Ushul al-Fiqhnya. Abu Nur Zuhair ini guru Abah saya di al-Azhar Cairo dan kabarnya Syekh Ali Gomaa, mantan mufti mesir juga pernah belajar pada Syekh Nur Zuhair ini.
Abah tidak hanya belajar di dalam kelas kepada Syekh Nur Zuhair, tetapi juga belajar langsung di kediamannya. Caranya unik, sambil bersalaman, dan lutut bertemu lutut, Syekh Nur Zuhair menjelaskan isi kitabnya, dan Abah diminta mengulangi penjelasannya tersebut. Kitab Syekh Nur Zuhair ini pula-lah yang diajarkan Abah kepada saya, dan saya mewarisi kitab yang Abah pakai saat belajar dulu dengan gurunya lengkap dengan catatan Abah di pinggir kitab. Inilah perjalanan kitab Ushul al-Fiqh dari Imam Syafi’i sampai abad modern ini. Inilah pula sanad kajian Ushul al-Fiqh yang saya miliki.
Jikalau anda belum pernah belajar dengan mendalam akan kitab Ushul al-Fiqh dan anda tidak memiliki sanad keilmuan dalam bidang ini, mohon anda menahan diri untuk tidak sembarangan mengeluarkan fatwa ini halal – ini haram tanpa pondasi Ushul al-Fiqh yang kuat, apalagi kalau anda dengan enteng di medsos memaki para ulama atau para sarjana Syari’ah hanya karena pendapatnya tidak anda setujui. Alih alih membantah dengan ilmu, anda hanya mampu mencaci-maki yang hal itu jauh dari akhlak yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah SAW.
Berbeda pendapat antara ulama itu hal biasa, asalkan tetap dilakukan dengan ilmu dan akhlak. Berbeda pendapat di kalangan awam itu luar biasa, sampai caci maki dan menuduh kesana-kemari karena tanpa ilmu dan tanpa akhlak.
Saya ingin menutup catatan ini dengan sebuah puisi selepas saya sowan ke makam Imam Syafi’i di Cairo pada tahun 2012. Untuk Imam Syafi’i peletak pondasi dasar ilmu Ushul al-Fiqh mari kita bacakan al-fatihah…
Sang Imam
Ku lihat engkau berbaring dengan tenang
Ku saksikan setiap detik beterbangan pahala jariyah ke tubuhmu
dari setiap bacaan, amalan maupun doa pengikutmu di penjuru duniaFatwamu bagaikan ibu (al-Umm) yang menyapih mereka
Argumentasimu menjadi surat pengantar (al-Risalah) bagi ibadah merekaUjung karpet terbuka
dan ku saksikan bekas tapak kaki al-MusthafaAdakah yang lebih menggetarkan ketika engkau sang pembela Sunnah
didatangi langsung oleh al-Musthafa di saat wafatmu?
Tabik,
Nadirsyah Hosen