Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, para sahabat dipaksa oleh keadaan untuk berijtihad. Semula mereka tinggal bertanya kepada Nabi, namun wafatnya Nabi membuat para sahabat harus menggali dari al-Qur’an dan Hadis akan jawaban terhadap berbagai kasus baru. Masing-masing dari Khulafa al-Rasyidin telah berijtihad dan tak jarang memantik reaksi dari sahabat lainnya.
Umar ibn Abd al-Aziz memberi komentar menarik: “Saya tidak suka kalau para sahabat tidak berbeda pendapat, sebab kalau mereka hanya mempunyai satu pendapat, tentu manusia akan berada dalam kesempitan, padahal mereka itu adalah para pemimpin yang dijadikan panutan oleh umat. Kalau ada seseorang mengambil salah satu dari beberapa pendapat sahabat yang ada, maka ia berada dalam keluasan.”
Pada masa tabi’in pengunaan ijtihad juga semakin meluas seiring dengan bertambahluasnya wilayah yang tergabung dalam kekuasaan Islam. Di Madinah saja pada abad kedua Hijriah muncul tujuh fuqaha termasyhur yang menjadi rujukan umat. Mereka meriwayatkan hadits sambil memberikan fatwa menjawab berbagai persoalan pelik. Ini belum lagi disebut para fuqaha di Kufah yang sering berbeda pandangan dengan ahlul hijaz.
Perbedaan pendapat tidak bisa dihindari sejak di masa sahabat sampai tabi’in. Namun banyak pihak yang merasa gelisah dan galau. Kesimpangsiuran mana hukum yang bisa dijadikan pegangan memaksa para ulama merumuskan konsep ta’abbudi dan ta’aquuli. Ada ajaran yang harus diterima apa adanya tanpa perlu dipikirkan hikmah dibalik pensyariatannya. Dan ada ajaran yang bisa dirasionalkan dan karenanya bisa diubah sesuai perkembangan. Pembagian ini ternyata tidak menghentikan perbedaan pendapat, maka muncullah teori kesepakatan (ijma’).
Tapi bagaimana menentukan cakupan ijma’ itu? Apakah ijma’ ulama madinah saja sudah cukup dijadikan pegangan? Atau harus ijma’ semua ulama? Apakah harus tercapai kesepakatan itu dengan pernyataan terbuka atau cukup dengan diam dan tanpa bantahan (ijma’ sukuti)? Mulai abad ketiga hijriah, sudah semakin sulit mengklaim terjadinya Ijma’. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal menganggap pembohong bagi mereka yang mengklaim ijma’ setelah abad ketiga Hijriah.
Ketika ijma’ gagal untuk menghentikan terjadinya perbedaan pendapat, maka muncul konsep Qat’i dan Zanni. Teks atau lafaz dari Nash yang mengandung kejelasan perintah atau larangan yang bersifat pasti tidak perlu ditanyakan lagi, Ini sudah masuk wilayah Qath’i al-dalalah. Di lain pihak sejumlah ayat yang memang mengandung penafsiran berbeda boleh terus didiskusikan karena ini wilayah Zhanni al-dalalah.
Ijtihad tidak berlaku pada wilayah yang Qath’i. Bahkan lambat laun muncul pula pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Jadi, bukan hanya pada wilayah tertentu tapi pada semua aspek kita cukup mengikuti apa yang telah diputuskan para ulama terdahulu. Inilah masa kegelapan umat Islam, yang efeknya masih terasa sampai sekarang.
Namun gerak langkah peradaban dunia yang begitu dinamis membuat para ulama kembali berpikir ulang untuk membuka kembai pintu ijtihad. tapi bagaimana caranya? Kalau pintu dibuka dan tidak ada yang berani memasukinya terus apa gunanya?
Muncullah para pembaru yang dengan berani mengajukan pertanyaan: sejauhmana kita bisa meninggalkan teks Qath’i untuk kemudian merujuk pada maqashid al-Syari’ah? Sejak era Imam Syathibi, para ulama berdiskusi mengenai lima dasar tujuan pensyariatan hukum islam yaitu untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Inikah ijtihad model baru?
Bisakah yang kita anggap Qath’i itu adalah lima elemen maqashid al-Syari’ah di atas? Bisakah yang ta’abbudi menjadi ta’aqquli? Masihkah kita harus berpegang pada kesepakatan ulama terdahulu? Bisakah kita memfiqihkan yang Qath’i?
Perdebatan terus berlangsung untuk menyingkap mana wilayah yang konstan dan mana wilayah hukum Islam yang dinamis. Kalau kita perbesar wilayah yang konstant, maka gerak langkah umat menjadi terbatas. Kalau kita geser wilayah dinamis menjadi meluas, maka dikhawatirkan akan bablas dan tidak tersisa agama ini kecuali hal-hal ghaib dan mitos belaka. Bagaimana menentukan formula yang tepat dan seimbang?
Sementara itu kaum sufi menyimak perdebatan berabad-abad para fuqaha di atas dengan tersenyum sambil berucap lirih, “bukankah sudah kami usulkan untuk berpegang pada sabda Nabi: istafti qalbak (mintalah fatwa pada hatimu)?!”