Dalam hukum Islam, negara diberi wewenang untuk mengeluarkan aturan dan regulasi meski tidak ada dalil khusus dan spesifik dari Qur’an dan Sunnah. Ini yang disebut dengan siyasah syar’iyah.
Syekh Abdurrahman Taj mendefinisikan siyasah syar’iyah sebagai berikut:
“hukum, kebijakan atau peraturan yang berfungsi mengorganisir perangkat kepentingan negara dan mengatur urusan umat, yang sejalan dengan jiwa syariah, sesuai dengan dasar-dasarnya yang universal (kulliy) serta (dapat) merealisasikan tujuan-tujuannya yang bersifat kemasyarakatan, sekalipun hal itu tidak ditunjukkan oleh nash-nash tafshili yang juz’i dalam Al-Qur’an dan sunnah”.
Taj kemudian membedakan antara siyasah syar’iyah dengan siyasah wadh’iyah. Yang pertama ialah segala hukum, peraturan atau perundang-undangan untuk mengatur persoalan umat yang bersumber atau bertumpu pada dasar-dasar agama Islam, guna menciptakan kemaslahatan serta menghindarkan kemafsadatan.
Sedangkan yang kedua adalah segala peraturan atau perundang-undangan yang dibuat oleh manusia untuk mengatur persoalan umat, di mana peraturan dan perundang-undangan tersebut bersumber dari atau bertumpu pada ‘urf (adat kebiasaan), pengalaman, pandangan para pakar dan sebagainya tanpa ada pertalian dengan wahyu atau sumber hukum Islam. [Baca lebih lanjut di buku Abdurrahman Taj, as-Siyasah asy-Syar’iyah wa al-Fiqh al-Islami, Mesir: Dar at-Ta’lif, 1953]
Oleh karena itu, selama peraturan perundang-undangan itu dikeluarkan melalui mekanisme yang baku dan untuk kemaslahatan kita semua maka kita wajib menaatinya, baik peraturan itu dikeluarkan oleh pemimpin kafir atau pemimpin Muslim; baik ada atau tiada dalilnya; baik sumbernya dari nash atau adat setempat, atau kebutuhan masyarakat. Semuanya dianggap sah dan islami.
Contoh praktis: kita tidak bisa menolak aturan lalu lintas menyetir di sebelah kiri dengan alasan tidak ada dalilnya dari Qur’an dan Sunnah yang mewajibkan kita menyetir di sebelah kiri jalan. Atau tidak ada aturan dari Nabi soal lampu lalu lintas. Meski aturan lalu lintas ini dikeluarkan oleh pemimpin yang anda anggap kafir sekalipun, anda harus taat. Kalau tidak taat maka akan terjadi kekacauan yang berakibat kecelakaan fatal.
Di bawah ini saya share tulisan ciamik dari Kiai Afifuddin Muhajir dari Pesantren Asembagus Situbondo, yang mengambil contoh kasus lampu merah untuk menjelaskan kaitan antara ushul al-fiqh, fiqh dan siyasah.
Monggo disimak dan sama-sama kita ngaji dengan Kiai yang tidak hanya alim tapi juga ahli ibadah ini. Inilah jalan pikiran para Kiai pesantren: luwas dan luwes tapi tetap taat aturan.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
KH. Afifuddin Muhajir: LAMPU MERAH SEBAGAI ILLAT
Telah terjadi sedikit cekcok antara seorang pengemudi dan serang polisi lalu lintas di pinggir jalan raya . Cekcok itu bermula dari perilaku pengemudi yang terus melajukan kendaraannya padahal telah melihat lampu merah sedang menyala sebagai tanda bahwa semua kendaraan harus berhenti. Dia berdalih bahwa kondisi saat itu sangat sepi karena memang sudah larut malam, sehingga kekhawatiran terjadinya kecelakaan sebgai hikmah di balik isyarah lampu merah tidak mungkin terjadi.
Sementara pihak polisi tidak mau peduli dengan dalih yang dikemukakan pengemudi. Ia kokoh berpegang teguh pada apa yang tersurat secara jelas di dalam peraturan lalu lintas yang mewajibkan semua kendaraan berhenti ketika melihat lampu merah di arah tujuannya sedang menyala, baik dalam kondisi ramai maupun sepi.
Membaca peristiwa ini mengingatkan pikiran kita akan perbincangan di kalangan ulama ushul fiqh tentang hubungan antara teks syari’at ([aswaja_arabic display=”inline”]نصوص الشريعة[/aswaja_arabic]) dan tujuan syari’at ([aswaja_arabic display=”inline”]مقاصد الشريعة[/aswaja_arabic]).
Di kalangan ulama ushul ada sedikit perbedaan pendapat tentang apa yg seharusnya menjadi acuan hukum ([aswaja_arabic display=”inline”]مناط الحكم[/aswaja_arabic]).
Kebanyakan ulama mengatakan bahwa hukum harus dikaitkan dengan illat yg memenuhi syarat-syarat tertentu. Yaitu berupa sifat yang dhahir, kongkrit dan terukur, seperti lampu merah tadi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa hukum bisa dikaitkan dengan hikmah yang sering kali tidak memenuhi syarat-syarat illat tersebut, seperti terjadinya kecelakaan.
Menurut kelompok pertama yang mayoritas, musafir yang menempuh jarak tertentu boleh meng-qashar shalatnya meski dalam perjalanannya sama sekali tidak mendapatkan rasa payah, letih dan lelah. Sebaliknya, musafir yang tidak menempuh masafatal qashri tidak boleh meng-qashar shalat meski mengalami rasa lelah dan letih yang luar biasa.
Dalam konteks aturan lalu lintas, perbedaan dua madzhab tersebut harus dikesampingkan, karena negara telah memilih madzhab yg pertama, sehingga berlaku kaidah: [aswaja_arabic display=”inline”]حكم الحاكم يرفع الخلاف[/aswaja_arabic] (keputusan negara menghapus perbedaan yg ada).