You are here:

Saya penikmat kopi, tapi bukan pemuja apalagi pencandunya. Buat saya pilihan meminum teh, kopi, cokelat, atau susu itu seperti memilih empat mazhab fiqh. Semuanya layak dinikmati tanpa harus fanatik atau menghujat pilihan yang berbeda.

Tapi gara-gara Dee Lestari yang menulis cerita Filosofi Kopi yang kemudian difilmkan itu saya jadi lebih bisa mengapresiasi kenapa orang sampai fanatik soal pilihan kopi. Dimulai dari perkebunan kopi, memilih biji kopi terbaik, sampai kemudian meracik dan menghidangkannya dalam secangkir kopi semuanya membutuhkan kesungguhan, skill dan sentuhan cinta. Ada makna filosofis di balik kopi. Sudjiwo Tedjo misalnya pernah menulis seuntai kalimat ini: “Jika yang suci selalu bening, maka tidak ada kopi diantara kita”. Atau yang satu ini: “Kekasih, engkau kopi puncak malamku, pahit dan kelam tanpa kusedu”. Indah bukan? semua gara-gara kopi.

Tapi tahukah anda bahwa kopi sebenarnya berasal dari Yaman sehingga sampai kini muncul istilah kopi arabica? Facebook boleh dibuat oleh seorang keturunan Yahudi, tapi hey kawan….budaya minum kopi pertama kali justru dibawa oleh para sufi. Dan saya tidak bisa membayangkan kita fesbukan tanpa secangkir kopi.

Dari kata Qahwah dalam bahasa Arab diderivasikan kata baru dalam bahasa Inggris yaitu coffee dan cafe. Para sufi di Yaman meminum kopi sebelum memulai ritual zikirnya. Kabarnya meminum kopi membuat mereka lebih konsentrasi dan fokus (dalam bahasa keagamaan: lebih khusyu’). Maka dari Yaman menyebarlah tradisi minum kopi ke Mekkah, Mesir dan Syria serta Turki di abad 15 dan 16 masehi.

Tapi seiring kontroversi terhadap para sufi, kopi pun sempat diperdebatkan halal-haramnya oleh para ulama di Mekkah, Kairo dan Istanbul pada masa itu. Efek kafein di dalam kopi dianggap setara dengan efek alkohol. Bahkan ada yang mengharamkannya karena dianggap menyerupai budaya meminum wine di masyarakat barat. Ah memang orang fanatik dimanapun berada senangnya curiga terus dengan budaya luar.

Tapi kopi bukan hanya sekedar milik para sufi. Dibukanya kedai kopi di banyak tempat telah menjadi arena orang berkumpul sambil ngobrol. Yang diobrolkan dari sekedar curhat sampai soal sastra, agama dan politik. Iya, kata yang terakhir ini menjadi alasan lainnya mengapa meminum kopi bisa dianggap berbahaya. Di banyak tempat kedai kopi menjadi forum obrolan politik mengkritik penguasa tiran. Dan penguasa tiran segera meminjam tangan para ulama untuk mengeluarkan fatwa hukuman mati untuk peminum kopi, seperti dilakukan oleh Sultan Murad IV (1623-1640).

Dari Yaman dan Istanbul, kopi menyebar ke dunia barat. VOC Belanda yang semula berdagang di nusantara terus lama-lama menjajah itu juga punya andil besar menyebarkan kopi dari wilayah nusantara ke Eropa di abad 17. Dan ketika masuk ke Eropa, pada mulanya kopi dicurigai sebagai minuman muslim dan banyak yang enggan meminumnya (kalimat saya di atas berlaku juga di sini: ah memang orang fanatik dimanapun berada senangnya curiga terus dengan budaya luar). Baru setelah Paus Clement VIII dilaporkan sangat menikmati minum kopi dan keluar ‘fatwa’ dari Vatikan bahwa kopi tidak selayaknya menjadi monopoli orang Islam, maka Eropa pun memulai menikmati tradisi baru ini –sebelumnya tradisi Eropa itu meminum teh.

Lantas belakangan muncul cita rasa baru dalam meminum kopi. Kopi arab yang terasa berat dengan wangi jahe dan disajikan dalam gelas kecil, digantikan dengan kopi yang dicampur rasa beraneka ragam dengan gelas yang lebih besar. Starbucks perusahaan kopi Amerika itu menjelma menjadi perusahaan internasional. Tapi tak semuanya berhasil ditembus Starbucks. Di Australia kedai kopi cita rasa Amerika itu banyak yang tutup karena orang Australia merasa mereka punya tradisi meminum kopi sendiri. Begitulah, akhirnya kopi menjadi bagian dari budaya setempat, dimanapun berada. Dan masing-masing mengklaim memiliki tradisinya sendiri. Kopi bukan lagi sekedar secangkir tapi telah menjadi teman saat berzikir dan berpikir.

Satu hal yang kita harus ingat: “Sesempurna-sempurnanya racikan kopi anda, pasti tetap ada rasa pahitnya.” Itulah filosofi kopi. Mungkin begitu juga kehidupan ini. Benarkah demikian? Silahkan saja dinikmati maknanya sambil menyeruput kopi anda hari ini 🙂

Tabik,

 

Nadirsyah Hosen