[aswaja_big_letter]Filosof menyebutnya akal mustafad. Aku tak mengerti teori yang canggih-canggih. Kaum sufi mengatakan sesungguhnya itu ruh idhafi. Aku menggeleng semakin tak mengerti. Yang aku tahu cinta itu bagai laron, yang di malam gelap gulita sehabis turun hujan rahmatNya, mengepakkan sayapnya menuju cahaya lilin.[/aswaja_big_letter]
Laron yg pertama berkata: “aku rasakan hangat api cintaNya”. Ia pun merasa cukup dan kemudian terbang menjauh sambil kesana-kemari bercerita ttg berbagai keajaiban yang ia rasakan saat mendekatiNya. Cinta itu mukjizat, kata Laron pertama.
Laron yang kedua semakin mendekat dan sayapnya menyentuh lilin lalu berkata: “aku tersentuh oleh api cintaNya”. Ia pun kemudian terbang menjauh, khawatir sayapnya terbakar habis dan bercerita pada banyak orang akan perjuangan dan rasa sakit disentuh api cintaNya. Cinta itu ternyata hangat tapi menyakitkan, simpul Laron kedua.
Laron yang ketiga semakin mendekat ke pusat cahaya dan perlahan terbakar habis. Ia tak sempat lagi bercerita, ia tak punya waktu lagi untuk membuat kesimpulan sendiri. Ia sudah habis terbakar. Akal mustafad telah lenyap. Ruh idhafi telah kembali pulang. Tak ada keajaiban. Tak ada hal yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tersisa dari cinta.
Kawan, masihkah kita butuh teori dan penjelasan saat rasa penasaran, keinginantahu ataupun kehendak diri telah terbakar oleh api cintaNya?
[Note: Re-post untuk mengenang kebaikan Kiai Jenggot Naga Syarif Munjih Hidayat –aku memanggilnya Bang Komar– yang wafat hari ini 17 Feb 2016. Selamat jalan Bang…Terima kasih atas support dan keceriaannya dulu di bangku Aliyah. Allah mencintaimu…]