[aswaja_big_letter]Dalam sejarah peradaban manusia, paham animisme mengaitkan antara kekuatan penguasa langit dengan persembahan darah. Mereka percaya darah yang mengalir ke bumi merupakan asupan bagi penguasa langit. Bila penguasa langit lemah maka manusia tidak bisa menguasai bumi. Itulah sebabnya sebelum bertempur biasanya ada upacara persembahan darah. Tanpa ritual darah mereka menganggap pasukan mereka akan kalah di medan pertempuran. Tanpa asupan darah, penguasa langit tak mau menolong mereka.[/aswaja_big_letter]
Secara medis, darah itu mengangkut zat-zat makanan dan oksigen ke jaringan-jaringan, dan juga sebagai pelindung tubuh karena mengandung antibodi. Darah dipompa oleh jantung untuk dialirkan ke seluruh tubuh. Jantung berhenti berfungsi maka berhenti pula aliran darah ke tubuh. Begitu vitalnya fungsi darah bagi manusia, sehingga yang kekurangan darah akan dilakukan penambahan darah lewat tranfusi. Dokter bisa menduga ada persoalan di tubuh kita hanya dengan mengecek tekanan darah, atau mengambil darah untuk dilakukan tes lebih lanjut. Kekuatan dan fungsi darah itulah yang dalam paham animisme hendak diberikan kepada penguasa langit.
Darah juga disimbolkan dalam perjuangan bangsa. Tanah tumpah darah. Artinya, pada tanah yang kita perjuangkan dan pertahankan kita siap berjuang sampai menumpahkan darah. Maka darah, tanah, dan kemenangan menjadi unsur yang saling kait mengait.
Kembali ke paham animisme, persembahan darah banyak variannya. Ada yang menumpahkan darah binatang. Ketika pertempuran lebih besar menghendaki asupan darah lebih besar lagi, maka yang dikorbankan adalah darah manusia. Berkembanglah berbagai mitos dari mulai persembahan darah anak kecil, pria perkasa hingga darah gadis perawan. Mereka semua dialirkan darahnya ke bumi sebagai persembahan.
Maka menjadi penting sekali firman Allah di bawah ini:
[aswaja_translation]“Daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al Hajj : 37).[/aswaja_translation]
Pada masa jahiliyah orang Arab memuncratkan darah hewan kurban mereka ke Baitullah, dan mempersembahkan juga daging hewan kurban mereka di Baitullah. Para sahabat yang merasa lebih berhak atas Baitullah menganggap mereka juga lebih berhak melakukan tradisi itu di Baitullah Ka’bah. Lantas turunlah firman Allah di atas yang memutuskan benang merah tradisi persembahan darah berabad-abad sebelumnya: Allah tidak membutuhkan darah dan juga daging hewan qurban kalian!
Inilah yang membedakan dengan tegas ajaran Islam dengan yang lain. Allah tidak memerlukan persembahan darah. Tidak ada kaitan antara darah yang mengalir di bumi dengan asupan kepada penguasa langit. Bahkan daging qurban tidak pula dipersembahkan sebagai sesajen, melainkan dibagikan kepada faqir miskin. Muatan teologis yang tegas, dibalut dengan kandungan sosial yang bernas. Qurban itu adalah simbol ujian ketakwaan kita. Takwa itulah yang akan mencapai keridhaan Allah, bukan darah hewan yang mengalir di tanah.
Dan sebenarnya bukan hanya darah dan daging yang tidak Allah butuhkan. Juga zakat, infaq, sadaqah kita. Sholat kita. Puasa dan haji kita. Bahkan keimanan dan keislaman kita sekalipun. Kitalah yang membutuhkan Allah. Semua ritual pada hakekatnya kembali manfaatnya untuk diri kita. Kitalah yang lemah. Kitalah yang membutuhkan asupan ibadah. Allah sama sekali tidak akan berkurang sedikitpun kalau tak ada manusia yang tak menyembahNya, dan tak bertambah sedikitpun kalau semua penduduk bumi menyembahNya. Maka tidak mungkin kita bisa menukarkan amal ibadah kita dengan keridhaanNya.
Kami ini lemah, itulah sebabnya kami sangat membutuhkan Engkau. Yang kami harapkan adalah belas kasihanMu untuk sudi menerima ibadah Qurban kami.
Amin Ya Mujib al-Sailin
Tabik,
Nadirsyah Hosen