You are here:

Kisah Lanjutan Kiai Tua dan Kiai Muda (2): Membakar al-Qur’an

Setelah sebelumnya Kiai Tua menegur Kiai Muda yang masih saja menggendong gadis ayu dalam pikirannya selama berjam-jam, keduanya kembali meneruskan perjalanan. Hujan deras membasahi mereka. Mereka kesulitan mencari tempat bereduh….terus berjalan hingga hujan usai barulah mereka menemukan bangunan tua yang tak lagi berbentuk utuh, untuk berlindung dari rasa dingin dan sekedar menyendarkan punggung mereka yang sudah letih.

Kiai Tua meminta kawan seiringnya, Kiai Muda, untuk mengumupulkan sejumlah dahan dan ranting. Lantas Kiai Tua mencoba membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh mereka yang terus menggigil kedinginan. Tapi ranting yang basah membuat api tak bisa membakar. Kiai Tua mengeluarkan pisau lipatnya dan mulai mengikis kulit luar ranting yang basah. Asumsinya di bagian dalam kayu masih belum basah. Kembali ia hidupkan api, namun api tak bertahan lama dan masih gagal membakar ranting.

Kiai Tua menoleh kepada Kiai Muda, yang bibirnya sudah biru menahan dingin dan tubuh yang basah kuyup. “Kemarikan mushaf al-Qur’an milikmu!” pinta Kiai Tua. Maka Kiai Muda mengeluarkan mushafnya yang tersimpan di dalam tas kulitnya. “Alhamdulillah mushaf tidak basah pak yai,” seru Kiai Muda, yang lantas berusaha membaca beberapa ayat. Ia menduga Kiai Tua memintanya membaca al-Qur’an ditengah kondisi yang amat sangat dingin itu. Tapi ia keliru. Mushaf dari tangannya diambil, lantas ia dengar Kiai Tua berkata: “kalau mau terus mengaji, gunakan hafalanmu saja. Aku mau membakar mushaf ini.”

Kiai Muda terlonjak kaget. Bagaimana mungkin di tengah kondisi yang sangat genting ini Kiai Tua berubah menjadi sinting: hendak membakar Mushaf! Entah syetan mana yang memasuki benak Kiai Tua ini. Benar kata orang rupanya, ini Kiai Sesat. Menyesal Kiai Muda telah menemani perjalanan Kiai Tua.

Satu demi satu lembar Mushaf itu dirobek oleh Kiai Tua, dan dibakar seraya berharap apinya menjadi tahan lama untuk merambat membakar ranting. Akhirnya berhasil juga, api dari lembaran mushaf mulai membakar ranting. Mereka selamat. Api menyala. Mereka berdua merapat ke arah api untuk mengusir dingin yang menusuk tulang.

Kiai Tua berkata lembut: “Mushaf inilah yang menyelamatkan kita, malam ini tidak dengan cara dibaca seperti biasanya, tapi dengan aku bakar lembarannya. Besok kita bisa dapat Mushaf baru. Dan ayat-ayat suciNya tidak pernah terbakar, tetap tersimpan di dalam hati kita. Yang malam ini terpaksa aku bakar hanya lembarannya bukan ayatNya. Alhamdulillah.”

Kiai Muda angkat wajahnya ke atas memandang langit. Perlahan kerlip bintang mulai muncul di atas sana, sementara di hatinya mulai muncul pencerahan akan makna memelihara kehidupan. Kiai Tua lantas mengajak Kiai Muda berzikir bersama ditemani hangatnya api unggun.

Bersambung…..insya Allah

Tabik,

Nadirsyah Hosen