You are here:

Berbeda Itu Tidak Berarti Bermusuhan

Seringkali kita dapati sebagian kawan yang mencemooh pendapat seorang ulama dan hanya karena satu-dua fatwanya yang tidak kita setujui maka semua fatwanya kita tolak, semua buku atau ceramahnya kita acuhkan bahkan mendengar namanya disebut saja kita langsung meradang. Padahal tidak harus begitu. Kalau kita tidak cocok dengan satu-dua fatwa ulama tersebut, toh bukan berarti pendapat beliau semuanya menjadi keliru.

Begitu juga sering kita dapati sebagian kawan yang kalau sudah menentang kebijakan seorang pemimpin, maka seolah semua yang berasal dari pemimpin tersebut dianggap salah semua. Padahal boleh jadi, dia melakukan kekeliruan dalam satu-dua hal, namun ada juga kan kebijakan beliau yang bagus. Yang keliru, kita kritisi, namun yang baik ya tetap kita dukung.

Ada juga kawan yang kalau sudah berbeda pandangan dengan kita, entah karena berdebat soal urusan kantor atau soal ilmu maka langsung dimasukin ke hati. Walhasil, orang jadi takut untuk berbeda pandangan karena akan merusak silaturahmi. Terlalu baper jadinya 🙂

Sikap membawa segala sesuatu ke urusan personal menghalangi kita bersikap profesional. Artinya, kalau kita jadi pejabat maka kita melaksanakan kebijakan berdasarkan unsur “like-and-dislike” bukan berdasarkan kelayakan dan prestasi. Akhirnya, teman bisa jadi musuh, dan musuh pun bisa jadi kawan, selama cocok dengan perasaaan kita. Bawahan kita pun tidak lagi bersikap profesional tapi “asal bapak/ibu senang”.

Maka sila kedua Pancasila sangat tepat untuk kita gali kembali maknanya: “kemanusiaan yang adil dan beradab.” Kita menghargai orang lain sebagai manusia dengan cara memanusiakan kemanusiaan kita. Kita bersikap adil dan beradab. Inilah landasan etika pergaulan yang sudah digariskan dalam sila kedua Pancasila. Saya manusia, dan anda manusia, mari kita adil dan beradab. Gabungan tiga kata kunci (kemanusiaan, adil dan beradab) inilah nilai luhur bangsa kita yang perlahan kini mulai terkikis.

Sila kedua ini ternyata sangat cocok dengan ajaran agama. Sewaktu ada iringan jenazah lewat, maka Nabi Muhammad berdiri. Ada sahabat yang memberitahu bahwa itu jenazah seorang Yahudi. Nabi tetap berdiri bersikap menghormatinya dan berkata: “bukankah Yahudi itu juga manusia?”. Nabi hendak mengajarkan bahwa menghormati orang itu dengan mengedepankan sisi kemanusiaan kita, baru kemudian urusan suku, status sosial apalagi urusan politik. Secara spiritual, pada setiap manusia ada ruh suci ilahi. Maka menghormati manusia atas dasar kemanusiaan itu sebenarnya juga menghormati Sang Pencipta.

Contoh lain, Ibu Lia Aminudin mengaku didampingi Malaikat Jibril dan anaknya yang bernama Abdul Mukti sebagai Nabi Isa dan pengikutnya yang bernama Abdul Rachman sebagai Imam Mahdi. Almarhum Abah saya dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI pada 22 Desember 1997 menyatakan ajaran Ibu Lia itu sesat-menyesatkan. Ibu Lia dan jamaahnya tentu saja bereaksi dengan keras. Bahkan berulangkali “jibril” yang mendampinginya mengeluarkan berbagai ancaman dan kutukan kepada pihak MUI termasuk Abah saya.

Abdul Rachman yang disebut-sebut sebagai “Imam Mahdi dan reinkarnasi Nabi Muhammad” itu kawan saya di IAIN Ciputat dulu. Lama kami tak bertemu dan tak berkomunikasi. Belakangan ia muncul di facebook dan menyapa seorang kawan lainnya, Kiai Aminudin Yakub, yang juga alumni Ciputat dan pengurus Komisi Fatwa MUI. Kiai Aminudin mengabarkan kepada saya bahwa ada salam dari Abdul Rachman. Maka kemudian terjalinlah kembali komunikasi antara saya dan Abdul Rachman.

Saya tentu saja berbeda pandangan soal “Jibril” nya ibu Lia dan jamaahnya. Ibu Lia, lewat “Jibril”nya, juga berbeda pandangan dengan mayoritas umat Islam soal ini. Tapi tidak bisakah kita tetap saling menghormati atas dasar kemanusiaan? Begitulah lewat Abdul Rachman, saya dan Ibu Lia saling mengirim salam. Saya dan Abdul Rachman pun bertukar kabar. Tidak ada caci-maki dan hujat menghujat. Cukup kami tahu bahwa kami memang berbeda. Selebihnya kita saling berkomunikasi berdasarkan kemanusiaan seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad dan sila kedua Pancasila.

Masalah siapa yang benar atau salah, ya biar saja nanti Allah yang akan memutuskan di padang mahsyar. Itu wewenang Allah. Tugas kita sebagai manusia adalah bersikap adil dan beradab (menjaga etika) bahkan termasuk kepada mereka yang berbeda pandangan.

Mengapa belakangan ini saya melihat hal-hal semacam ini pada sebagian pihak amat mudah untuk dituliskan tapi teramat sukar untuk dijalankan yah? Kenapa kita lebih suka mengambil wewenang Allah ketimbang menjalankan tugas kita sebagai manusia?

Syekh Rasyid Ridha mengingatkan kita: “mari kita bekerjasama pada hal-hal yang kita sepakati, dan saling menghormati pada hal-hal yang kita berbeda pandangan“. Silakan berbeda, tapi tidak perlu bermusuhan. Silakan berbeda, tapi bisakah kita tetap bekerjasama pada hal-hal yang kita tidak berbeda? Kalaupun kita berbeda, kita semua tetap manusia yang berusaha untuk bersikap adil dan beradab. Sesederhana itu.

Tabik,

Nadirsyah Hosen