Di dalam al-Qur’an, kata al-munafiqun disebut dalam 27 tempat dan kata nifaq (dalam bentuk masdar) ada di tiga tempat. Bahkan ada satu surah dengan nama al-munafiqun, yakni surah ke 63. Surah ini terdiri dari 11 ayat, dimana ayat 1–8 menerangkan sifat-sifat orang Munafik dan ayat 9-11 berisi peringatan bagi orang Mukmin.
Asbabun nuzul surah ini berkenaan dengan kasus yang terjadi dalam suatu peperangan di tempat Banil Mustaliq, dimana salah seorang kaum Muhajirin, Jahjah bin Usaid, pemelihara kuda Umar bin Khattab, bertengkar dengan Sinan yang berasal dari siku Juhainah. Sinan ini mitra Abdullah bin Ubay dan orang-orang Anshar. Jahjah memukul Sinan, yang kemudian berteriak meminta bantuan kaum Anshar. Jahjah pun berteriak memanggil Muhajirin.
Abdullah bin Ubay, pemuka kaum Anshar, mulai mengeluarkan hasutannya untuk tidak menyokong kaum Muhajirin tinggal di Madinah sampai mereka berpisah dari Nabi Muhammad. Dia mengatakan setibanya nanti kembali di Madinah, kaum Anshar yang kuat akan mengusir Muhajirin yang lemah. Zaid bin Arqam mendengar ucapan itu lalu menyampaikannya ke pamannya. Zaid dipanggil Nabi yang menanyakan benar atau tidaknya Abdullah bin Ubay berucap seperti itu. Zaid membenarkannya.
Kemudian Nabi memanggil Abdullah bin Ubay dan teman-temannya yang semuanya bersumpah tidak pernah mengatakan hal demikian. Mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, barangkali anak remaja ini (yakni Zaid bin Arqam) hanya berilusi dan masih belum dapat menangkap pembicaraan yang dikatakan oleh seorang yang telah dewasa.” Karena pembicaraan mereka yang meyakinkan diiringi dengan sumpah mereka atas nama Allah, maka saat itu Nabi cenderung membenarkan Ibn Ubay dan menganggap Zaid berbohong. Zaid berkata: “aku pun saat itu dilanda keresahan yang belum pernah ku alami”.
Keesokan harinya turun surah al-Munafiqun. Nabi membacakannya kepada para sahabat, dan bersabda kepada Zaid, ” Sungguh Allah telah membenarkanmu.”
Menelaah kandungan ayat ke-4 dalam surah ini akan tergambar karakter orang munafik:
Jika kalian memandang mereka, kalian akan terpesona oleh keindahan penampilan mereka. Jika mereka berbicara, kalian akan mendengarkan karena manisnya mulut mereka. Begitulah mereka itu, yang lebih mementingkan aspek lahiriah sehingga membuat orang lain terpikat.
Meski demikian, kalbu mereka kosong dari iman. Mereka bagaikan kayu yang tersandar, tak ada kehidupan dalam diri mereka. Tidak ada pula buah yang bisa dinikmati. Mereka seperti kayu mati.
Mereka selalu mengira setiap teriakan yang keras, kebenaran yang nyata maupun peringatan yang jelas sebagai bencana yang ditujukan kepada mereka, karena mereka merasakan betul keadaan yang sebenarnya: bukankah orang yang gemar berdusta hati kecilnya selalu takut jangan sampai dustanya terbongkar? Mereka jadi paranoid; waspada berlebihan, akibat ketakutan terbongkarnya aib mereka sendiri.
Mereka memandang yang lain sebagai musuh, padahal orang-orang munafik itulah musuh yang sebenarnya bagi umat Islam, maka waspadalah kalian terhadap mereka para munafiqun. Semoga Allah binasakan mereka. Mereka telah terusir dari rahmat Allah. Sungguh mengherankan, bagaimana mereka sampai dipalingkan dari kebenaran sehingga tidak menyadari keburukan perangai mereka!
Begitulah kawan…orang munafik itu gemar membolak-balikkan kebenaran, bahkan tidak segan mereka melakukan dusta atas nama Allah. Seakan Allah tidak melihat apa yang mereka kerjakan, padahal Allah melihat dan mengetahui semuanya. Yang mereka cari bukan maslahat, tapi tipu muslihat. Alih-alih bersikap tulus mereka kedepankan akal bulus. “Allah ancam mereka dengan neraka jahanam, dan mereka kekal di dalamnya” (QS 9: 68).
“Orang munafik itu telah lupa kepada Allah, maka Allah pun melupakan mereka” (Qs 9:67). Ini artinya, siapa yang meninggalkan Allah maka Allah pun akan menjauh darinya. Daripada kita menuding sana-sini, mari kita berdoa semoga ayat-ayat ini bukan tentang kita. Amin!
Tabik,
Nadirsyah Hosen