You are here:

Tuhan pun Mau Diajak Bernegosiasi: Hikmah Isra-Mi’raj

Dua sifat Allah yang saling berkaitan erat: jamaliyah dan jalaliyah. Allah yang Maha Pengampun dan Penyayang serta Maha Lemah Lembut adalah cerminan sifat Jamaliyah; sedangkan Allah yang Maha Besar, Maka Kuat, Maha Kuasa merupakan contoh sifat Jalaliyah.

Melalui sifat Jamaliyah ini Allah berkenan berdialog bahkan bernegosiasi dengan makhluk ciptaanNya. Jadi kalau ada hambaNya yang keras kepala, tidak mau kompromi dan tidak bisa diajak bernegosiasi sedikitpun maka orang tersebut perlu belajar melembutkan hatinya dengan menyimak kisah Isra-Mi’raj.

Dalam peristiwa Mi’raj, Anas bin Malik menyebutkan,[aswaja_translation] “Nabi SAW bersabda: “Kemudian Allah ‘azza wajalla mewajibkan kepada ummatku shalat sebanyak lima puluh kali. Maka aku pergi membawa perintah itu hingga aku berjumpa dengan Musa, lalu ia bertanya, ‘Apa yang Allah perintahkan buat umatmu? ‘Aku jawab: ‘Shalat lima puluh kali.’ Lalu dia berkata, ‘Kembalilah kepada Rabbmu, karena umatmu tidak akan sanggup! ‘ Maka aku kembali dan Allah mengurangi setengahnya. Aku kemudian kembali menemui Musa dan aku katakan bahwa Allah telah mengurangi setengahnya. Tapi Musa berkata, ‘Kembalilah kepada Rabbmu karena umatmu tidak akan sanggup.’ Aku lalu kembali menemui Allah dan Allah kemudian mengurangi setengahnya lagi.’ Kemudian aku kembali menemui Musa, ia lalu berkata, ‘Kembalilah kepada Rabbmu, karena umatmu tetap tidak akan sanggup.’ Maka aku kembali menemui Allah Ta’ala, Allah lalu berfirman: ‘Lima ini adalah sebagai pengganti dari lima puluh. Tidak ada lagi perubahan keputusan di sisi-Ku! ‘ Maka aku kembali menemui Musa dan ia kembali berkata, ‘Kembalilah kepada Rabbmu!’ Aku katakan, ‘Aku malu kepada Rabbku’. (Shahih Bukhari, Hadis Nomor 336 dan 3094; Shahih Muslim, Hadis Nomor 237)[/aswaja_translation]

Para ulama terpesona membaca kisah di atas: bagaimana mungkin sebuah perintah Allah, belum dilaksanakan pun, sudah bisa dinegosiasi? Ini semua tidak mungkin terjadi kalau Allah tidak menampakkan belas-kasihanNya kepada umat Muhammad SAW. Nabi Musa, berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya, terus meminta Nabi Muhammad kembali menghadap Allah untuk bernegosiasi, sampai Nabi sendiri akhirnya merasa malu untuk kembali.

Bercermin dari sikap Nabi, ya begitulah salah satu adab para salik: Allah terus menawarkan rahmatNya sampai para salik sendiri menjadi malu dan merasa cukup. Ya Rabb, rahmatMu terus mengalir ke bumi, padahal dosa-dosa kami terus naik ke langit. Engkaulah Rabb yang kasih sayangMu melebihi murkaMu. Astaghfirullah…

Kalau kisah di atas belum juga mampu meruntuhkan tembok ego diri kita yang ngeyel dan ngotot untuk tidak mau berkompromi soal pelaksanaan Syariat, maka tengoklah kisah Nabi Ayub yang kelepasan bersumpah mencambuk istrinya seratus kali. Nabi Ayub kemudian menyesal seraya teringat kembali bakti sang istri. Beliau kebingungan karena sumpah harus dilaksanakan.

Tafsir Ibn Katsir menceritakan bagaimana Allah memberikan petunjuk melalui wahyu-Nya yang menganjurkan kepada Nabi Ayub untuk mengambil lidi sebanyak seratus buah yang semuanya diikat dijadikan satu, lalu dipukulkan 100 lidi kepada istrinya sekali pukul. Dengan demikian, berarti Ayub telah memenuhi sumpahnya dan tidak melanggarnya serta menunaikan nazarnya itu.

Hal ini adalah merupa­kan jalan keluar yang Allah berikan: ketimbang seratus kali mendera, maka cukup seratus lidi digabung jadi satu dan dipukulkan sekali. Luar biasa, bukan? Allah ‘mengajari’ Nabi Ayub untuk ‘mengakali’ sumpahnya tanpa harus melanggar esensi sumpah. Allah mengajari Nabi Ayub akan maqashid al-syari’ah.

(Catatan: sebelum ada yang kebakaran jenggot dan menuduh Ibn Katsir dan saya sebagai liberal atau syi’ah, saya persilakan untuk membaca kisah Nabi Ayub di atas dalam QS Shad:44).

Begitulah….Allah pun begitu lentur, fleksibel, dan negotiable terhadap aturanNya. Syariat sebagai cerminan sifat Jalaliyah Allah, memang harus digandeng dengan Tasawuf sebagai perwujudan sifat Jamaliyah Allah. Kalau Allah saja mau berkompromi dan bernegosiasi, masihkah hati anda keras seperti batu? Lantas bagaimana kita mau mi’raj kalau terus kita bawa kekerasan hati ini?

Ya Lathif, Ulthuf bina….

Tabik,

Nadirsyah Hosen