Kembali ke ruh dakwah, bukan lagi al-ghazwul fikri.
Kenapa mereka yang ikut pengajian model halaqah menjadi begitu mudah reaktif menyerang pihak yang berbeda? Bukankah dakwah itu mengajak, bukan mendepak; dakwah itu merangkul bukan memukul?
Salah satu sebabnya adalah materi al-ghazwul fikri yang diajarkan di berbagai kelompok pengajian. Maksudnya adalah adanya perang pemikiran yang terjadi antara umat Islam dengan pihak yang hendak meruntuhkan Islam. Ditengarai, dalam konteks al-ghazwul fikri ini, banyak tokoh, ulama dan cendekiawan Islam sendiri yang sadar atau tidak sadar telah digunakan pihak musuh untuk meracuni umat Islam dengan berbagai pemikiran yang menyimpang. Mereka itu adalah musuh dalam perang pemikiran ini. Begitu inti materi yang diajarkan.
Efek negatif dari materi ini maka mereka yang sudah kena indoktrinasi menganggap mereka yang berbeda pemahaman akan al-Quran dan Hadis dipandang sebagai musuh yang mau merusak Islam. Kita lihat hasil doktrinasi ini dari mulai sangat percaya dengan teori konspirasi yahudi, kemudian tidak segan-segan menyerang para ulama dan tokoh Islam, menyeleksi berbagai referensi atau bacaan yang dianggap menyimpang, menghentikan diskusi/seminar yang dianggap bertentangan dengan Islam, mendiskreditkan ormas Islam dan lembaga pendidikan Islam yang tidak sesuai dengan mereka, sampai dengan memfitnah dan memberi label kafir, sesat, liberal, dst. kepada pihak yang berbeda paham.
Karena konteksnya adalah “perang” maka berlakulah hukum perang meski hanya di level abstrak (bukan fisik). Ini yang menyebabkan kawan-kawan kita itu menjadi reaktif, agresif dan provokatif. Memfitnah dianggap halal. Mencaci maki dianggap wajar. Meng-hack atau mengambil alih akun media sosial atau email dianggap bagian dari ghanimah peperangan. Pendek kata, bagi mereka, ini adalah era perang pemikiran. Masalah dakwah dan akhlak menjadi urusan belakangan.
Sudah saatnya kita tinjau ulang indoktrinasi al-ghazwul fikri yang kebablasan ini. Mari kita kembali ke ruh al-da’wah yang hakiki. Kalau konteksnya dakwah, maka perbedaan bukan berarti bermusuhan. Kebenaran harus dipeluk dan dirangkul. Yang belum benar diajak ke jalan dakwah baik dengan hikmah, nasehat yang baik ataupun diskusi yang argumentatif, sesuai petunjuk al-Qur’an.
Inilah bahasa dakwah. Islam yang ramah bukan marah-marah. Islam yang menebar rahmat bukannya malah enteng melaknat orang lain. Mari kita kembali gunakan kosakata dakwah, bukan lagi menggunakan kacamata ‘perang pemikiran’ yang parahnya justru diarahkan kepada sesama umat Islam.
Tabik,
Nadirsyah Hosen