Hari Jum’at 3 Agustus 2018 sangat berkesan untuk saya. Saya terbang dari Kuala Lumpur ke Surabaya, lantas menuju Tulungagung karena dijadualkan mengisi acara di IAIN Tulungagung bersama sahabat saya yang sangat alim, Kiai Moqsith Ghozali.
Kami mengambil kesempatan untuk mengunjungi salah satu pesantren legendaris di Nusantara, yaitu Lirboyo, di Kediri. Ini pesantren yang jutaan alumninya tersebar dimana-mana, dan sudah menghasilkan nama-nama besar seperti KH A Mustofa Bisri, KH Dimyati Rais, KH Said Aqil Siraj, dan KH Husen Muhammad, dan lain-lainnya.
Saya pertama kangen-kangenan dengan Gus An’im Mahrus. Dulu saya ketemu beliau bersama guru saya Dr. KH Maulana Hasanudin (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat) saat Muktamar NU di Lirboyo tahun 1999. Kami meneruskan persahabatan kedua orang tua kami (KH Mahrus Aly dan Prof KH Ibrahim Hosen). Kontak batin sudah terasa. Beliau bilang memang sudah terucap ingin ketemu saya lagi beberapa hari sebelumnya, dan ternyata kami dipertemukan lagi.
Saya juga ditemani Gus Rosyid dari Denanyar, panitia IAIN Tulungagung Syekh Nafis dan Syekh Umam. Rombongan kami juga disambut oleh Gus Mu’id Shohib.
Setelah itu Gus An’im mengantar kami sowan kepada Kiai Sepuh al-Mukarram KH Anwar Manshur, pengasuh Pondok dan juga Rais Syuriah PWNU Jawa Timur. Alhamdulillah bukan saja saya diterima dengan hangat oleh beliau dan putra beliau sahabat saya Gus Adib, tapi saya juga diberi pesan, didoakan dan, Masya Allah, tanpa diduga saya diberi ijazah (saat Mbah Yai War berbisik). Berkah…berkah…berkah.
Gus Reza, salah satu bintang cemerlang dari Lirboyo juga menghampiri kami dan ikut berdiskusi. Semoga akan ada kelanjutan kerjasama antara PCI NU Australia-New Zealand baik dg Lirboyo maupun dg PWNU Jawa Timur.
Kemudian kami berziarah ke makam para muassis dan masyayikh Lirboyo. Saya mengambil tempat di sisi makam KH Mahrus Aly. Berdoa dan bertawasul.
Jarum jam sudah bergerak ke jam 11 malam, tapi Gus An’im belum rela melepas saya dan rombongan. Beliau ingin saya ngobrol juga dengan kawan-kawan Bahtsul Masail. Maka kami bergerak ke arah dalam pondok. Saya dan Kiai Moqsith sempat melihat koleksi perpustakaan LBM Lirboyo dan mengomentari beberapa kitab yang tersedia baik untuk umum maupun koleksi terbatas hanya untuk perumus. LBM Lirboyo memang terkenal aktif dan piawai dalam Bahtsul Masail.
Selanjutnya kami berdiskusi menyoroti fenomena medsos dan bagaimana LBM Lirboyo bisa terlibat lebih aktif lagi. Saya juga melihat sejumlah buku terbitan hasil telaah dan kajian para Santri Lirboyo. Luar biasa….!
Acara diakhiri dengan foto bersama. Gus An’im langsung guyon kepada saya; “sekarang sudah sah sebagai alumni Lirboyo!” 🙂
Lirboyo adalah salah satu pilar dari NU. Bukankah terkenal ungkapan bahwa pesantren itu NU kecil, dan NU itu pesantren besar? NU dan Pesantren memang tidak bisa terpisahkan.
Semoga kita semua termasuk dalam rombongan para santri yang senantiasa didoakan oleh para Masyayikh untuk terus belajar dan menebarkan Islam yang rahmatan lil alamin di bumi Nusantara dan belahan bumi lainnya.
Allahummarzuqna Ya Rabb Fahman Nabiyyin wa Hifzhal Mursalin wa Ilhamal Malaikatil Muqarrabin fi ‘afiyatin Ya Arhamar Rahimin
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand
dan Dosen Senior Monash Law School