You are here:

Peradaban tanpa tatap muka

Bahkan sebelum wabah coronavirus pun kita sebenarnya sudah perlahan memasuki era peradaban tanpa tatap muka. Teknologi membuat hidup kita direduksi dalam bentuk smartphone dan jaringan internet. Namun datangnya corona benar-benar mendorong peradaban manusia menjadi peradaban tanpa tatap muka di abad ini.

Kita mengisolasi diri dan menjaga jarak, sambil pada saat yang sama tak ada lagi jarak sebenarnya antara kita dan orang lain. Semuanya terkoneksi lewat berbagai aplikasi pendukung di dalam hape kita.

Pernyataan Presiden dari Istana misalnya bisa dinikmati langsung di saat anda memeluk guling di kamar tidur anda. Pengajian Live yang semakin menjamur bisa dinikmati lewat Instagram: saya di Melbourne, Ustad Yusuf Mansur di Jakarta, dan obrolan kami ditonton di ruang tamu kawan yang berada di Jerman, di dalam mobil yang kena macet di Makassar, atau sambil menyeruput kopi di teras rumah anda di Solo. Ruang perkuliahan dipindahkan ke kamar tidur atau meja makan lewat Zoom. Saya dimana, dan students saya entah ada di mana. Luar biasa!

Namun pada saat yang sama kita dipaksa kini mendefinisikan ulang elemen kemanusiaan kita. Kalau dulu para haters seenaknya memaki kita di medsos dengan kasar karena seolah-olah yang mereka maki hanya layar smartphone, kini berita korban wabah corona pun seolah hanya deretan angka dan foto di layar hape kita. Tak masuk ke dalam relung hati kita, sampai mungkin orang terdekat kita yang turut menjad korban.

Pendek kata, kini kita memasuki era peradaban tanpa tatap muka. Ada masyarakat yang siap menghadapinya, namun banyak pula yang gamang.

Benarkah kini definisi ngopi bareng itu lewat layar hape: Gus Arifin posting foto cangkir kopinya, dibalas Pak Dhe Amal dengan video cangkir kopinya plus suara burung kesayangannya, lantas ditimpali Mprop Picoes dengan menyebut nikmatnya ngopi sambil mempromosikan jualan kopi kawannya. Lantas netizen ramai-ramai meRT dan meLike. Inikah peradaban tanpa tatap muka itu?

Kalau masalahnya hanya sekadar ngopi, mungkin tidak terlalu besar dampaknya. Namun jika peradaban tanpa tatap muka ini sudah memasuki relung peribadatan, apakah cara kita menyembahNya pun menjadi sangat individual, dan hanya bergabung dengan jamaah lewat layar hape kita? Apakah Tuhan akan menerima ibadah semacam ini?

Begitu juga hubungan personal kita dengan mereka yang kita cintai, cukupkah peradaban tanpa tatap muka ini menggantikan makna senyuman tanpa sentuhan? Tak ada salaman antara kakak-adik; anak-orang tua; dan antar tetangga, padahal Easter dan Ramadhan menjelang datang.

Pendek kata, kita kini menghadapi peradaban tanpa tatap muka yang semakin meluas. Apakah ini hanya sementara karena wabah corona, atau sesungguhnya inilah cikal bakal kehidupan kita selanjutnya. Manusia semakin rentan terhadap virus, kita semakin mengisolasi diri untuk bertahan, dan hanya terhubung lewat koneksi internet. Inikah ciri peradaban manusia selanjutnya? Dan corona yang menjadi triggernya.

Tabik,

GNH