Dulu sekitar tahun 2005 setelah saya menyelesaikan kedua program PhD saya dan saya kemudian lanjut mengambil program Postdoctoral di TC Beirne School of Law, University of Queensland —salah satu law school papan atas di Australia.
Kolega saya Prof Ann Black bercerita bahwa saat bubar semester ada acara hiburan dari LSS (Law Student Society), semacam senat mahasiswa, yang salah satu agenda hiburannya adalah membuat parodi dari berbagai mata kuliah.
Ann mengajar hukum Islam dan sejumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah itu sudah berlatih membuat parodi yg diambil dari sebagian materi dan diskusi di kelas. Namun saat gladi resik, Dekan yang menyaksikan parodi sejumlah mata kuliah mendekati Ann dan memutuskan membatalkan parodi mata kuliah Islamic law.
Alasan Dekan saat itu, Prof Rickett, “saya khawatir mahasiswa Muslim akan marah-marah terhadap parodi itu.” Ann mencoba membantah, “Jangan dibatalkan, kasihan mahasiswa yang sudah latihan. Saya akan tanya Nadir terlebih dahulu.”
Ann meminta saya ke ruangannya dan bercerita masalah ini. Respon saya adalah: “Jalan terus saja, Ann. Saya dibesarkan oleh tradisi Islam di Indonesia yang penuh guyon dan santai memahami serta menjalankan keislaman saya. Paling yang protes kawan-kawan dari Wahabi saja.”
Tapi rupanya keputusan Dekan tidak bisa diganggu-gugat. Alasan Dekan, “saya gak mau suasana hiburan akhir semester menjadi tegang dan berbuntut panjang di kemudian hari. Kamu beruntung Ann, kamu bertanya pada Nadir. Tapi seperti kata Nadir, kelompok Wahabi akan keberatan. Dan saya gak mau pusing meladeni mereka. Batalkan!”
Maka mata kuliah Islamic Law menjadi satu-satunya mata kuliah yang tidak boleh diparodikan. Kesan malam itu, Muslim tidak bisa bercanda. Muslim mudah tersinggung. Muslim gampang merasa agamanya dihina.
Saya tentu keberatan dengan anggapan semacam itu. Tapi ya sudahlah. Untuk menghibur Ann, lantas saya ceritakan satu joke yang saya kutip dari Gus Dur:
Ada Ustaz yang menangis terus setiap malam ketika mendengar kabar anak bungsunya telah masuk Kristen. Akhirnya selepas tahajud, Ustaz tersebut mendengar “bisikan”.
“kenapa kamu menangis terus?”
“anak bungsuku masuk Kristen, Ya Allah”
Ustaz kembali menangis sambil bersujud.
Tak disangka-sangka ustaz mendengar “bisikan” berikutnya:
“Halah! Kamu gitu aja nangis. Masalahku lebih berat tauuu…aku cuma punya anak satu, Yesus, sudah gitu disalib dan masuk Kristen lagi! Kamu kan masih punya banyak anak yang saleh dan salehah.”
Ann tertawa terbahak-bahak mendengar joke itu. Setelah reda, dia tanya: “Apa benar joke semacam itu tidak dipermasalahkan oleh umat Islam di Indonesia?”
Dengan bangga, saya jawab: “Tidak. Malah para kiai kami ikut tertawa mendengar guyonan Gus Dur itu”.
Saat ini tahun 2018. Tiga belas tahun sudah berlalu. Beberapa hari lalu Ann mengirim email kepada saya bahwa dia sedang di Jerman menjadi visiting profesor di salah satu kampus top di sana. Ah…andaikan saja saya ketemu Ann saat ini, ingin saya sampaikan:
“Jangan coba-coba mengulang joke yang saya kisahkan tahun 2005 dulu ke umat Islam di Indonesia saat ini! Anda akan dituduh menghina Islam, Ann. Maaf, Indonesiaku sudah berubah!”
Tabik,
Nadirsyah Hosen