Sebagai pemegang dua gelar PhD dalam dua bidang berbeda: hukum Islam dan hukum umum, saya harus terus membaca berbagai literatur bukan hanya dalam kedua bidang utama tersebut tapi juga bidang terkait. Kalau saya berhenti membaca, malu rasanya kalau saya tidak tahu perkembangan pemikiran dalam kedua bidang yang saya tekuni sejak masih S1 dulu. Amanah keilmuan ini harus terus saya jaga dan rawat.
Dulu saya khatam membaca 4 buku sehari. Sekarang, info tidak cuma di dalam buku, tapi juga berada dalam ebook di iPad saya, diskusi serius di grup Whatsapp, maupun sejumlah info yang bertebaran di sejumlah website, yang kalau semuanya dikalkulasi sama dengan khatam 4-5 buku sehari-semalam.
Keluarga pun protes karena kalau saya sudah serius membaca, saya seperti terputus dengan dunia luar. Bahkan perang dunia ketiga meletus pun saya akan tetap membaca. Anak saya punya trik jitu: “kalau minta sesuatu, mintalah disaat abi sedang serius membaca. Abi akan menjawab ‘iya’ tanpa mendengar apa yang diminta. Lantas direkamlah jawaban abi itu sebagai bukti abi sudah mengiyakan!”.
Paling tidak tahan kalau sudah mampir ke toko buku. Saya bisa gesek kartu kredit tanpa ragu untuk membeli berbagai buku baru. Dua hari lalu kenalan saya Pak Djajat Sudradjat, redaktur senior di Media Indonesia mengabarkan bahwa dia baru saja selesai menghadiri peluncuran buku Salim Haji Said, Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (Mizan, 2016).
Mendapat info buku bagus tersebut, saya langsung cari dan membeli buku itu lewat Google Play Books. Buku setebal hampir 300 halaman itu langsung tuntas saya baca dalam semalam. Kebetulan topiknya merupakan hal yang saya senangi: kisah naik-turunnya para jenderal di sekitar Pak Harto dari mulai Jenderal M Yusuf, Benny Moerdani, Sumitro, Kemal Idris, Sarwo Edhi, Sudomo, Try Sutrisno, dan Wiranto.
Ingatan melayang kembali kepada sebuah masa ketika kekuasaan presiden dan militer sungguh tak terbatas. Salim Said, pengamat militer, mantan dubes dan wartawan itu pandai merangkai kisah. Sebagian saya sudah tahu apa yang beliau kisahkan tapi banyak hal baru yang beliau ceritakan. Beliau juga ternyata terlibat dalam ide penganugerahan Jenderal Besar dan juga pernyataan Jenderal Wiranto sesaat Pak Harto menyatakan berhenti.
Kok tahan bisa baca 4-5 buku sehari-semalam? Ada seni-nya kita ‘bercinta’ dengan buku. Konon cara kita membaca buku itu persis dengan cara kita menyentuh perempuan.
Lihat dulu cover bukunya, kemudian simak daftar isinya. Setelah itu lihat mukadimahnya. Dan buka ke bagian belakang buku. Baru kemudian menikmati pembahasan di tengahnya. Begitulah seni membaca dan menyentuh.
Tapi sayang para jomblo biasanya malah sibuk membaca footnote dan daftar pustaka 🙂
Tabik,
Nadirsyah Hosen