You are here:

Mata para pencari bakat itu seperti mata ajaib. Mereka tidak hanya melihat kondisi hari ini, tapi mereka sudah bisa “melihat” potensi orang yang didepan mereka dan membayangkan apa yang akan terjadi 10-20 tahun kemudian.

Dunia membutuhkan para pencari bakat, apakah itu peneliti, penyanyi, atau pemain sepakbola, untuk kemudian direkrut oleh pelatih atau mentor yang handal dan, ibarat mencari batu akik yang masih setengah mentah, untuk kemudian dipoles dan digosok hingga kemudian bernilai tinggi.

“Para pencari bakat” itu juga banyak ditemui dalam dunia pesantren. Kiai Abbas dari Buntet Pesantren misalnya, memiliki pandangan mata yang tajam melihat potensi calon santri yang berdatangan. Bukan saja matanya mampu memilah mana yang ditolak dan mana yang diterima, tapi juga memandang mana yang punya potensi luar biasa dan akan menerima amanah 10-20 tahun kemudian dan karenanya harus ia poles secara khusus.

Tidak jarang kita dengar kisah unik dari pesantren bahwa ada anak tertua kiai yang ditolak mondok di suatu tempat, tapi malah diminta agar anak yang bungsu yang dikirim belajar mondok di sana. Proses mencari mutiara terpendam memang seringkali unik dan tidak masuk akal.

Kalau para pencari bakat dan juga para ulama yang waskita memiliki pandangan mata yang menembus masa depan, bagaimana pula dengan pandangan mata dari Allah swt?

Ibn Athailah mengingatkan kita bahwa ada yang mencari Allah, namun ada pula yang dicari Allah. Maka kita mengenal sosok Salman al-Farisi yang harus menempuh perjalanan jauh mencari kebenaran hingga kemudian melihat tanda kenabian di punggung Nabi Muhammad. Namun kita juga mengenal sosok Umar bin Khattab yang penentang Nabi Muhammad, namun dia dicari oleh Allah, sehingga ketika Umar mendengar kalam ilahi dibacakan sontak luluh lantak lah ia; semua kebencian tiba-tiba musnah dan beralih pada cinta ilahi.

Sobatku, mungkin kita pernah putus asa dalam mencariNya, kita menempuh jalan panjang yang berputar tak tentu arah. Boleh jadi kita tak punya kesungguhan seperti Salman yang mencari kebenaran kemana-mana. Mungkin malaikat pencari bakat juga tak kunjung melihat potensi kesalehan dalam diri kita, berbeda dg apa yang terjadi dalam kasus Umar. Yang dilihat dari diri kita hanyalah melulu kesalahan kita.

Seperti pemabuk yang menitipkan pertanyaan kepada Tuhan lewat Nabi Musa: “Aku adalah peminum, aku tidak pernah shalat, tidak puasa, atau amalan shaleh lainnya, tanyakan kepada Allah apa yang dipersiapkan untukku oleh-Nya nanti.” Ketika Nabi Musa memberitahu jawaban Tuhan bahwa pemuda itu akan diberikan tempat yang paling buruk, pemabuk itu berdiri dan justru menari-nari dengan riang gembira.

Nabi Musa pun heran, kenapa pemabuk itu justru gembira, padahal ia dijanjikan tempat yang paling buruk. Beliau bertanya kepada pemabuk itu, ada apa gerangan hingga segembira itu.

“Alhamdulillah. Saya tidak peduli tempat mana yang telah Tuhan persiapkan bagiku. Aku senang karena Tuhan masih ingat kepadaku. Aku pendosa yang hina-dina. Aku dikenal Tuhan! Aku kira tidak seorang pun yang mengenalku,” jawab pemabuk itu dengan rasa bahagia yang terpancar di wajahnya.

Ah…Tuhan….Engkau masih berkenan mengenali kami para pendosa ini, bukan?

Tabik,

Nadirsyah Hosen