“Kami tidak takut pada Corona. Kami hanya takut pada Tuhan”
Benarkah? Bagaimana kalau gini:
“Saya & keluarga takut kena Corona sehingga tak lagi sempat beribadah padaMu & tak bisa lagi bermanfaat utk sesama, padahal dosa kami menumpuk —tak tahu surga atau neraka yg menunggu?”
**
“Di daerah kami belum masuk zona merah, gak ada yg kena Corona, kenapa shalat Jumat ditiadakan?”
Gimana kalau logikanya gini:
“Selama belum ada test massal yang hasilnya terbukti kampung anda aman, maka semua orang dianggap berpotensi membawa virus corona meski terlihat sehat?”
**
“Kenapa masjid ditutup, padahal mall /warung tetap buka?”
Benarkah? Bagaimana kalau gini?
“Masjid ditutup, kita masih bisa ibadah di rumah. Jumatan diganti zuhur itu ada tuntunan syar’inya. Tapi kalau mall/warung ditutup, apa opsi lain utk memenuhi kebutuhan primer sehari2?”
**
“Lebih baik saya mati saat shalat di Masjid, daripada mati takut kena Corona”
Benarkah? Bagaimana kalau gini?
“Corona itu gak bikin kamu mati seketika. Ada proses inkubasi 14 hari. Kamu mgk ketularannya di Masjid, terus dirawat di RS, dan matinya di kasur. Ini bukan jihad lho!”
**
“Bukannya mati itu sudah ketentuan Allah. Kita semua pasti mati. Kenapa takut Corona?”
Benarkah? Bagaimana kalau gini?
“Mati sudah pasti. Tapi penyebab & caranya kita gak tahu. Kalau kena Corona, kamu malah berpotensi mati dan menulari keluarga & kawanmu utk mati juga. Mau?”
**
“Solusi menghadapi Corona itu penegakkan khilafah”
Benarkah?
“Jaman Khalifah Umar ada wabah Amawas yg bermula dari Palestina terus ke Syam & menyebar ke area lain. Sekitar 30 ribu orang wafat termasuk sejumlah nama besar Sahabat Nabi Saw. Jadi, memang solusinya bukan khilafah”
**
Tabik,
Nadirsyah Hosen