Ada dua saudara yang nasibnya berlainan. Ali Baba, sang adik, hidup papa dan merana. Sang kakak, Qasim, hidup senang berlimpah harta. Satu hari, Ali Baba pergi ke gurun pasir, tak disangka ia bertemu rombongan penyamun yang menuju sebuah pintu batu dan mengucapkan kata sakti sehingga pintu itu terbuka. Ali Baba yang bersembunyi memperhatikan dengan seksama kelakuan para penyamun itu.
Ketika para penyamun itu keluar, pimpinannya lagi-lagi mengucapkan kata sakti yg sama sehingga pintu batu kembali tertutup. Setelah rombongan penyamun itu pergi, Ali Baba dengan rasa ingin tahu yang besar mulai mendekati pintu batu itu. Ia ucapkan kata sakti yang tadi didengarnya. Ali Baba terkejut ketika pintu batu itu terbuka. Ia lebih terkejut lagi ketika mendapati emas dan perhiasan serta barang-barang yang mahal didalam gua itu. Rupanya, itulah tempat persembunyian atau “gudang harta” para penyamun selama turun temurun dari generasi ke generasi.
Ali Baba mengambil harta itu secukupnya lalu pulang ke rumah. Sayang, akibat keteledoran isterinya, sangkakak, Qasim, mengetahui perubahan yang terjadidengan hidup adiknya itu. Ali Baba yang dulunya miskin kini menjadi hidup lebih dari cukup.
Terdorong rasa iri hati yang menjulang, Qasim bertanya hal ihwal kekayaan adiknya. Ali Baba, terdorong rasa sayang pada kakaknya, menceritakan rahasianya termasuk kata sakti untuk membuka pintu batu.
Malam itu juga, Qasim segera pergi ke “gudang harta” para penyamun itu. Dengan lancar ia ucapkan kata sakti itu. Pintu terbuka. Qasim terperangah. Matanya langsung silau dengan kepingan emas dan barang berharga lainnya. Tak henti-hentinya ia pandangi limpahan harta itu. Lama ia berdiri mengagumi barang mewah yang kini tergeletak didepannya.
Qasim segera sadar dan mulailah ia dengan bernafsu mengumpulkan kepingan emas itu. Ketika telah penuh karung-karung kosong yang ia bawa; ketika peluh telah membasahi tubuhnya, ketika ia telah puas mengagumi harta itu, ia pun hendak keluar. Akan tetapi, kerongkongannya tercekat! Ia lupa kata sakti yang harus diucapkan untuk membuka pintu batu.
Sementara itu, rombongan penyamun telah kembali datang. Sang kepala penyamun mengucapkan kata sakti dan terbukalah pintu batu. Mereka kaget ketika mendapati Qasim di dalam “gudang harta” mereka. Qasim yang tertangkap basah hanya bisa pasrah. Nasib Qasim selanjutnya sudah bisa kita tebak.
Kisah Ali Baba dan Qasim di atas merupakan salah satu kisah yang terdapat dalam “Kisah Seribu Satu Malam”. Sebagaimana kisah-kisah yang lain, sebenarnya, dongeng di atas mengajarkan kita banyak hal, asalkan kita mau membaca yang tersirat.
Boleh jadi, pengetahuan yang kita miliki sama. Boleh jadi, kita sama-sama mengetahui rahasia ilahi; boleh jadi pula kita sama-sama hafal kata sakti atau ayat ilahi. Namun, kesucian hatilah yang membedakan kita.
Ali Baba tidak silau dengan harta duniawi. Sementara itu, meskipun Qasim sudah diberi tahu kata sakti, ketika ia silau dengan harta duniawi, mendadak ia lupa kata sakti itu. Pikirannya hanya dipenuhi dengan harta dan harta. Kerakusannya membuat ia memenuhi isi kepalanya dengan segudang rencana. Mungkin ia berencana membangun real estat, boleh jadi ia berencana membangun pusat-pusat pertokoan. Siapa tahu ia juga berencana membangun jalan tol yang menghubungkan satu kota dengan kota lain dan setiap yang lewat akan dimintakan bayaran. Ketika isi kepalanya penuh dengan hal-hal itu, ia menjadi lupa akan kata sakti.
Ayat Ilahi, atau yang disimbolkan dengan kata sakti di atas, hanya akan menghampiri mereka yang suci hatinya. Boleh jadi, kita sama-sama tahu makna ayat Ilahi, namun nasib kita bisa berbeda.Tinggal pilih: mau menjadi Ali Baba atau Qasim?
Armidale, 3 Februari 1998