You are here:

KH A. AZIZ MASYHURI: Nara Sumber Penelitian Fatwa NU

[Beliau wafat pada 15 April 2017. Tempo hari, Panitia Haul beliau meminta saya ikut menyumbang tulisan mengenang beliau. Ini saya share catatan saya tersebut, semoga ada manfaatnya dan mari kita kirimkan al-fatihah untuk beliau, pengasuh Ponpes al-Aziziyah Denanyar, semoga Allah merahmati dan mengangkat derajat beliau. Lahul fatihah…]

Saya mengenal KH A. Aziz Masyhuri itu sekitar tahun 1998 sewaktu saya sedang melakukan penelitian untuk tesis saya tentang Fatwa MUI, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Di kalangan para peneliti Australia, dan saya kira juga peneliti di manca negara, nama KH A. Aziz Masyhuri itu terkenal menjadi rujukan dalam urusan fatwa NU. Karena beliaulah yang mula-mula mengumpulkan semua hasil Bahtsul Masail dari muktamar pertama saat itu sehingga menjadi dokumen yang sangat berharga.

Saya ingat juga, kebetulan saya sudah mempunyai buku tersebut. Prof MB Hooker dari Australia National University (ANU) ketika bertemu saya, beliau bertanya mengenai buku itu dan akhirnya minta saya foto-kopikan. Jadi saya foto-kopikan dan kemudian saya kirim lewat pos dari tempat saya waktu itu di University New England kepada Barry (panggilan Prof MB Hooker) untuk jadi bahan penelitian beliau tentang fatwa di tanah air. Jadi, nama Kiai Aziz itu masyhur di kalangan para peneliti Luar Negeri tentang fatwa NU.

Tahun 1998 saya sempat datang ke Denanyar, bertamu ke rumah beliau (waktu itu masih di ndalem yang lama). Berdiskusi langsung tentang manhaj fatwa NU. Saat itu saya diterima dengan baik lalu kami berdiskusi panjang lebar. Saya cukup terkejut saat itu, ketika Kiai Aziz bercerita mengenai Syeikh Wahbah al-Zuhaili. Beliau mengatakan bahwa beliau memiliki buku al Fiqh al Islam wa Adillatuhu karya syaikh Wahbah al-Zuhaili.

Tetapi kemudian ketika beliau juga membaca Tafsir al-Munir terus melihat bagaimana pendekatan dan corak penyampaian yang disampaikan oleh syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir, meski beliau sebelumnya tidak melihat nama pengarangnya. Beliau mengatakan: “Lha kok ini gaya-gayanya kayak sama buku al Fiqh al Islam wa Adillatuhu ketika membahas tentang masalah-masalah hukum.” Kemudian beliau baru ngeh kalau tafsir tersebut ternyata ditulis oleh Wahbah al-Zuhaili.

Buat saya cerita singkat ini menarik, karena karya al-Zuhaili ini termasuk kitab modern. Masalah definisi kitab-kitab yang mu’tabarah di dalam Bahtsul Masail NU itu belum termasuk kepada kitab-kitab yang modern. Jadi yang disebut dengan kitab-kitab yang mu’tabarah itu waktu itu adalah kitab-kitab klasik. Tetapi fakta bahwa seorang Kiai di Denanyar Jombang ternyata dengan lancar menceritakan mengenai isi dua kitab karangan Syaikh Wahbah al-Zuhaili. Ini menandakan bahwa para Kiai NU itu mengikuti perkembangan kitab-kitab modern tersebut. Meskipun pada saat itu tidak secara tegas diakui kitab tersebut sebagai bagian dari kitab-kitab yang mu’tabarah.

Ini sebuah fakta yang menarik, karena ternyata para Kiai tradisional NU telah melampaui batasan dari apa yang disebut dengan kitab-kitab yang mu’tabarah itu tadi.

Kesan saya, bahwa KH A. Aziz Masyhuri ini adalah seorang Kiai tradisional, tetapi juga mempunyai wawasan yang selalu di-up date. Kesan saya yang selanjutnya adalah saat itu diskusi dengan beliau di rumahnya mengenai metode fatwa NU berdasarkan hasil Munas NU di Lampung pada tahun 1992. Yaitu mengenai mengeluarkan fatwa dengan metode manhaji dan ilhaq.

Kedua hal ini saya tanyakan kepada KH Aziz Masyhuri. Beliau mengatakan: “masalahnya belum ada juklak dan juknisnya yang diturunkan dari keputusan Munas Lampung yang menjadi pegangan para ulama NU khususnya di lajnah Bahtsul Masail.”

Bagaimana sebetulnya bermazhab secara manhaji itu dan kemudian juga cara ilhaq itu seperti apa? Karena belajar dalam kitab-kitab klasik itu masalah qiyas. Sementara para ulama di Munas Lampung itu juga meng-introduce atau memperkenalkan hal baru yaitu ilhaq. Seperti apa juklak dan juknisnya?

Saat itu menurut KIai Aziz Masyhuri memang belum ada. Bahkan beliau sempat menanyakan langsung kepada KH Sahal Mahfudz (selaku Rais Am NU pada waktu itu). KH Sahal Mahfudz lalu menjawab, “kalau begitu dibuat saja juklak dan juknisnya,” jawab Kiai Sahal sambil tersenyum.

Hasil diskusi dengan Kiai Azis Masyhuri tentang NU saya tuliskan dalam sebuah artikel yang berjudul “Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad” yang berhasil diterbitkan di New Zealand Journal of Asian Studies tahun 2004.

Saya kira konsen dan kepedulian Kiai Aziz Masyhuri terhadap Bahtsul Masail itu sudah melegenda. Di muktamar-muktamar NU beliau selalu hadir dan selalu ikut mewarnai diskusi di Bahtsul Masail. Hanya mungkin kalangan di luar NU tidak terlalu mengenali beliau, karena beliau bukan politisi NU atau bukan orang yang berada di puncak struktural PBNU. Tapi saya kira sumbangsih beliau pada dunia NU dan Bahtsul Masail di kalangan NU tidak bisa dipungkiri dan kita berterima kasih pada beliau. Mungkin itu yang bisa saya kenang dari KH A. Aziz Masyhuri.

Tabik,

Nadirsyah Hosen