Bagaimana mengelola perbedaan di tubuh umat? Ini sebuah pekerjaan rumah yang belum selesai. Bahkan ini juga terjadi di Australia. Badan mereka saja yang pindah ke Australia, negara modern yang multikultural, tapi mindset dan cara mereka memahami Islam masih sama saat mereka tinggal di kampung kelahirannya.
Beberapa masa silam di tanah air, ada joke yang beredar luas:
“Kalau masjidnya dikelola sama NU, yang hilang cuma sandal. Kalau Muhammadiyah yang urus masjidnya, paling juga qunut yang hilang; tapi kalau masjidnya sudah dikelola oleh aktivis itu tuh, masjidnya pun hilang diklaim oleh mereka!”
Entah darimana asal-muasalnya joke itu, tapi konon ada sebagian kelompok yang memang merasa surga hanya diperuntukkan khusus untuk mereka. Sedangkan orang lain yang tidak sejalan dengan manhaj mereka atau tidak sama ibadah ritualnya dengan mereka dan tidak sejalan dengan pilihan strategi dakwah mereka akan dianggap bukan bagian dari umat Islam atau minimal tidak akan diberi tempat dalam masjid yang mereka kelola.
Masjid yang merupakan rumah Allah berubah menjadi rumah kelompok mereka saja. Masjid yang didirkan dengan menggunakan resources umat dari golongan apapun, ketika sudah dikuasai kelompok itu berubah hanya menjadi milik mereka. Ini yang diisyaratkan dalam joke di atas “masjidnya pun hilang”. Artinya masjidnya hilang bukan lagi rumah Allah atau rumah bersama semua kelompok. Masjid telah hilang menjadi rumah sebagian pihak saja. Alih alih memakmurkan masjid, mereka sebenarnya tengah mengedepankan ego kelompok mereka saja.
Kegiatan di masjid hanya sesuai dengan aliran kelompok pengurus masjid. Mulai dari program, penceramah atau Ustadz/ah, buku bacaan….semuanya diatur oleh pengurus masjid. Jangan harap di masjid “yang sudah hilang” itu ada acara tahlilan atau ratiban. Kenapa? Karena mereka bukan hanya pengurus masjid, tapi merekalah pemegang kunci surga. Maka kegiatan yang beraroma bid’ah, pembicara yang dituduh liberal atau bahan bacaan dari ulama yang dianggap sesat, mutlak diharamkan memasuki masjid yang mereka kelola.
Dan kisah yang sangat familiar ini bukan hanya di tanah air, bahkan sampai di Australia pun mereka masih melakukan hal yang sama. Masjid tegak berdiri, tapi ukhuwah telah roboh berantakan. Padahal bisa saja kan di-manage perbedaan itu dengan baik. Misalnya, yang mau tahlilan atau ratiban dipersilakan. Tinggal alokasi waktunya saja diatur. Yang mau mengundang pembicara dari pihak lain, tinggal diatur saja slotnya. Yang mau diskusi topik apapun, silakan. Pendek kata, pengurus masjid itu fungsinya memfasilitasi kegiatan semua pihak di Masjid, bukan malah membatasi atau melarang ini dan itu.
Selain merasa memegang kunci surga, seringkali pengurus menjadikan masjid sebagai sarana memperbanyak jamaahnya. Dalam kalkulasi politis, masjid berubah menjadi ruang untuk mempromosikan pahamnya sambil mengecam paham pihak lain. Maka bisa dimengerti jikalau mimbar diberikan kepada pihak yang tidak sejalan dengan mereka, nanti sebagian jamaah terpikat dengan Ustadz pihak lain. Ini dianggap berbahaya. Begitulah, ternyata kavling surga pun sudah siap dibagi-bagikan oleh mereka. Dan anehnya mereka terus saja bicara ukhuwah Islamiyah tanpa melibatkan semua pihak untuk mengelola masjid. Yang ada adalah ukhuwah kelompokiyah semata.
Saya tutup dengan joke lainnya:
Konon di pintu surga nanti Allah akan memerintahkan malaikat menyeleksi setiap golongan. Malaikat bertanya: ‘sampeyan dari kelompok mana mas/mbak?’
Dijawab: ‘kami dari NU’
‘Baik, silahkan masuk surga, tapi nanti kalau melewati pintu warna hitam di pojok itu jangan berisik yah’
Golongan lainnya baik dari Muhammadiyah, Persis, jamaah tabligh, al-washliyah, dll semuanya dipersilahkan masuk surga dengan pesan yg sama: jangan berisik kalau melewati pintu berwarna hitam. Ketika semua sudah lengkap masuk surga semua, maka mereka penasaran ada apa dengan pintu hitam itu dan siapa gerangan yang berada didalamnya, kok mereka gak boleh berisik saat melewatinya. Malaikat menjawab: “pssstt…jangan keras-keras bertanya-nya. Kata Allah, pintu hitam itu diperuntukkan untuk kalangan itu tuh yg selalu merasa hanya mereka saja yang bakal masuk surga. Allah tidak mau mereka akan terkejut kalau mereka tahu bahwa selain golongan mereka juga masuk surga! jadi sudah…kita gak usah ganggu mereka yah”
Begitulah kawan…biarkan saja sekelompok umat ini menyangka hanya mereka saja yg masuk surga. Allah hormati ‘kepercayaan’ mereka itu, di surga nanti mereka dikumpulkan sendirian terpisah dari jamaah yang selama ini mereka sering kafir-kafirkan, dan mereka merasa akan puas. Kasihan kan kalau mereka jadi kaget bukan kepalang kalau orang lain yang mereka sudah sesat-sesatkan dan dianggap bukan bagian dari umat Islam, eh ternyata masuk surga juga, bi idznillah.
Tabik,
Nadirsyah Hosen