You are here:

Siapa yang Harus Kita Salahkan?

Dalam menghadapi persoalan kehidupan, kita atau orang lain cenderung mencari siapa yang bersalah ketimbang membereskan persoalannya. Ada beberapa pihak yang cenderung kita tuding.

Pertama, ada sebagian orang yang cenderung menyalahkan diri sendiri. Seandainya saya tidak begini dan begitu tentu persoalan ini tidak akan terjadi. Bahkan ketika nyata-nyata pihak lain yang bersalah, ada sebagian dari kita yang tidak berani menghadapinya dan lantas menyalahkan diri sendiri sebagai bentuk pelarian. Tentu kalau kita memang bersalah, kita harus mengakuinya. Tapi yang sering terjadi kita dipaksa mengaku bersalah oleh keadaan dan kemudian menyalah-nyalahkan diri meski kita sebenarnya tidak bersalah. iMenyalahkan diri sendiri tidak akan menolong anda. Malah secara psikologis anda akan merasa tertekan. Don’t be too hard to yourself. Jangan terlalu keras pada diri sendiri tapi lembek berhadapan dengan orang lain.

Kedua, blaming the victims. Sering terjadi kita menyalahkan korban. Dalam kasus pelecehan atau perkosaan ini sering terjadi: korban yang sudah sangat menderita malah terus disalah-salahkan: kamu sih kegenitan, kamu sih jalannya menggoda dan kamu sih mau saja diajak jalan, dst. Korban harus dibantu, bukan kemudian disalah-salahkan. Biasanya ini terjadi pada pihak yang lemah dan kalah. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Ketiga, don’t shoot the messenger. Pak Pos mengantar surat yang isinya penolakan dari orang yang anda incar. Maka anda langsung memaki-maki Pak Pos. Begitulah kira-kira ilustrasinya. Orang yang hanya menyampaikan pesan atau berita malah disalah-salahkan. Media membongkar kasus korupsi maka medianya yang disalahkan, bukan pejabat yang melakukan korupsi yang ditangkap. Seringkali menimpakan kesalahan kepada pihak ketiga sebagai cara menutupi persoalan anda yang sebenarnya. Orang yang menasehati anda malah anda caci maki. Buruk muka, cermin dibelah.

Keempat, dan yang paling parah adalah menyalahkan Tuhan. Setelah tak ada lagi yang bisa anda salahkan, maka anda akan menyalahkan nasib anda dan perlahan mulai menanyakan keadilan Tuhan. Mengapa orang lain sukses dan anda merana? Ini karena Tuhan tidak adil. Begitu tuduhan anda. Maka pada titik ini, berhati-hatilah, karena semakin kita menjauh dari Tuhan maka semakin susah kita menyelesaikan persoalan kita.

Tapi apakah persoalan menjadi selesai dengan tuding sana-sini? Inilah inti persoalannya.

Saat satu jari menunjuk orang lain, sebenarnya empat jari lain tengah menunjuk ke arah kita.

Saya tutup dengan kisah singkat: Sebuah desa terendam air, maka semua menghujat kepala desa yang dianggap tidak becus. Kepala desa menyalahkan warga yang buang sampah sembarangan sehingga menutupi saluran air. Warga tidak terima disalah-salahkan dan menyalahkan penggalian kabel listrik yang tidak ditutup kembali. Pihak PLN tidak terima dan mengatakan telah menutup lubang galian tapi kemudian petugas telkom menggalinya kembali. Petugas telkom tidak mau disalahkan dan menuding perempuan berbaju merah yang naik motor dan melintas didepannya sehingga membuat petugas terpesona dan lalai mengerjakan tugasnya menutup lubang galian.

Perempuan berbaju merah menyalahkan penjual baju kenapa memberi harga murah pada baju warna merah dan tidak pada baju warna biru sehingga ia terpaksa membeli baju merah. Begitulah semuanya sibuk menyalahkan pihak lain, sampai kemudian ada yang menyalahkan kodok yang tengah bernyanyi menikmati hujan. Nyanyian kodok lah yang memanggil datangnya hujan. Buktinya: kita semua kesusahan, eh kodok malah bahagia. Begitu kesimpulan mereka setelah berdebat panjang. Walhasil, diputuskan kodoklah yang bersalah yang menyebabkan terjadinya banjir. Selesai masalah? Tidak juga. Apakah anda tahu siapa yang senang memelihara kodok? Kepala desa!

Tabik,

 

Nadirsyah Hosen