Seringkali saya baca komentar semacam ini:
- Jangan pakai pendapat ulama, cukup kita kembali kepada Qur’an-Hadis
- Para ulama tidak ma’shum bisa salah, kita berpegang pada Allah dan Rasul-Nya saja
- Penafsiran di kitab tafsir itu bisa aja salah, cuma Qur’an dan Hadis yang tidak pernah salah, jadi kenapa pakai kitab tafsir?
- Jangan menuhankan ulama, ikuti apa kata Allah dan Rasul, jangan ikuti yang lain
Inilah salah satu kejahiliyahan abad modern. Kalau tidak melalui indoktrinasi kelompok tertentu bagaimana bisa omongan mereka bisa seragam semua seperti ini? Mereka di doktrin seakan-akan para imam mazhab, penulis kitab tafsir dan syarh hadis itu tidak berpegang pada Qur’an dan Hadis. Gak usah jauh-jauh untuk membantahnya, saya ambil saja contoh almarhum Abah saya, yang semasa hidupnya dua puluh tahun menjadi ketua Komisi fatwa MUI dan Guru Besar Fiqh Muqarin di sejumlah universitas.
Sewaktu pulang ke tanah air setelah menyelesaikan pendidikan beliau di Fakultas Syariah Al-Azhar Cairo, beliau tidak mendirikan Institut Ilmu Syariah atau yang semacamnya. Tahun 1971 beliau mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) bersama para ulama lainnya seperti KH Moch Dahlan (ketua PBNU yang saat itu menjadi Menteri Agama). PTIQ khusus untuk Pria, maka pada tahun 1977 beliau mendirikan Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) khusus perempuan. Mahasiswa PTIQ dan IIQ wajib menghafal al-Qur’an.
Saya pernah bertanya kepada beliau:
“Kenapa ahli fiqh seperti Abah malah mendirikan perguruan tinggi khusus al-Qur’an?”
“Nak, ingat yah….ahli fiqh itu berpegang kukuh pada Qur’an dan Hadis. Semua pendapat dalam fiqh merupakan hasil pemahaman mereka terhadap Qur’an dan Hadis. Karena itu umat harus paham keduanya sebelum belajar fiqh. itu sebabnya Abah dirikan terlebih dahulu perguruan ilmu al-Qur’an”
Buat ahli fiqh, mereka tidak perlu kembali kepada al-Qur’an dan Hadis karena mereka memang tidak pernah meninggalkan keduanya. Belajar fiqh itu tidak hanya menghafal halal-haram berdasarkan opini mazhab, tapi juga belajar bagaimana menggali hukum dari kedua kitab suci itu. Maka para ulama mengeluarkan seperangkat kaidah sebagai alat bantu untuk ber-istinbath. Inilah yang disebut Ushul al-Fiqh.
“Tapi pendapat ulama suka aneh-aneh dan ngawur serta bertentangan dengan Qur’an dan Hadis?” begitu biasanya komplen mereka. Perbedaan pendapat dalam fiqh itu hal biasa. Para ulama berbeda pendapat justru karena ayat dan hadis membuka peluang terjadinya keragaman. Diskusi di kalangan ulama itu juga biasa saja.
Abah saya pun fatwa-fatwanya banyak dipersoalkan oleh ulama yang lain. Dan ini wajar-wajar saja. yang gak wajar itu mencaci maki ulama tanpa argumentasi apapun dan menuduh mereka sesat telah keluar dari al-Qur’an dan Hadis. Masak mengatakan ulama ngawur hanya dengan modal copas terjemahan ayat dan hadis. Mikiirrrr 🙂 Emangnya para ulama gak paham ayat dan hadis yang ente copas? 🙂
Contoh lain, KH Ali Mustafa Ya’qub saat pulang dari Timur Tengah langsung diminta Abah saya untuk mengajar Hadis di IIQ. bahkan Abah promosikan beliau sebagai Guru Besar Ilmu Hadis di IIQ. Kata Abah, “Agar umat tahu bahwa Qur’an dan Hadis itu tidak bisa terpisah. Maka kita perlu memiliki Profesor Hadis di IIQ.”
Sewaktu IIQ membuka program s2, Abah kembali mengingatkan agar kajian s2 yang dibuka yaitu konsentrasi Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadis. Sekali lagi, ini bukti nyata bahwa ahli fiqh tidak mau lepas dari Qur’an dan Hadis.
Dan bukalah kitab fiqh yang ditulis para imam mazhab anda akan temui penuh kutipan al-Qur’an dan Hadis. Anda periksa argumentasi mereka, maka akan anda temukan bagaimana mereka mengajukan pendapat berdasarkan wajah istidlal dari Nash al-Qur’an dan Hadis. Ketika mereka melakukan tarjih (memilih pendapat yang paling kuat) mereka juga memeriksa semua dalil yang ada Gak seenaknya aja mengeluarkan pendapat.
Jadi, kalau ada yang bilang ulama gak punya dalil dari al-Qur’an dan Hadis atau kitab fiqh tidak berdasarkan Qur’an dan Hadis, saya pastikan orang yang bilang begitu itu masuk kategori jahil murakkab (tidak tahu kalau dirinya itu tidak tahu apa-apa).
Orang seperti ini mesti diajak ngopi bareng 🙂 Lalu bisikkan kata-kata ini: “Jangan buru-buru meminum kopi mu saat masih panas, nikmati saja aromanya, baru kau teguk pelan-pelan ….begitu juga belajar ilmu agama, gak bisa terburu-buru apalagi dengan hati yang panas, nikmati saja proses belajar ini…”
Tabik,
Nadirsyah Hosen