Dalam hadits sahih disebutkan bahwa perang itu tipu daya. Saat ini banyak yang memakai hadits ini untuk membenarkan menyebar berita bohong (hoax), mencaci-maki, memelintir fakta, memfitnah, menghack akun, menggoreng isu, men-skrinsut posting tanpa menyertakan konteks, mengolok-mengolok sampai mengancam membunuh. Semuanya mereka benarkan lewat hadits ini. Pemahaman semacam ini perlu diluruskan.
Untuk mengoperasikan hadits ini pertama-tama mereka menekankan bahwa umat Islam sedang diserang oleh kekuatan yang anti Islam. Mereka mengambil contoh konflik di berbagai belahan dunia dengan narasi tunggal: Islam tengah diperangi. Mereka tidak sampaikan kompleksitas persoalan yang ada, pokoknya narasinya cuma tunggal. Semuanya dianggap perang atas nama agama.
Berikutnya mereka bawa konflik di luar itu ke konteks negara kita. Pemerintah Indonesia ini pemerintah thogut. Dikuasai pihak asing dan aseng. Presidennya PKI. Ulama dikriminalisasi. Syariat Islam dibenci. Narasi masih berlanjut hingga ujungnya mengatakan bahwa ini pemerintah kafir yang tak layak ditaati.
Setelah itu, mulai mereka menyerang tokoh dan ulama. Nahdlatul Ulama benteng NKRI dihajar habis. Para Kiai NU dan Banser dinistakan secara terstruktur dan massif. Mereka yang punya pemahaman berbeda diberi label macem-macem dari mulai liberal, syi’ah, sesat, yang ujungnya hendak mengatakan jangan percaya ceramah dan tulisan para tokoh, cendekiawan dan ulama tersebut. Mereka telah kafir karena mendukung pemerintah kafir yang negara ini tidak berlandaskan Syariat.
Presiden memimpin shalat berjamaah, malah dibully. Presiden dekat ulama, ulamanya dicaci-maki. Presiden membantu konflik di luar negeri, malah dibolang pencitraan. Karena contoh-contoh ini mematahkan narasi mereka di atas bahwa Presiden anti dengan Islam, lha kok malah memimpin shalat? Makanya mereka dengan sekuat tenaga membully hal itu. Ulama yang mendekati Presiden untuk membimbing Presiden juga dibully sebagai ulama su’.
Mereka tidak ingin ulama dan umara bersatu. Mereka tidak ingin melihat pemerintah dekat dengan umat. Karena ini semua bertentangan dengan narasi mereka. Setelah banyak yang termakan oleh narasi ini maka mulailah mereka menganggap bahwa saat ini mereka berperang melawan pemerintah kafir, ulama su’, tokoh liberal, dan para pendukungnya. Berlakulah hadits di atas bahwa perang itu tipu daya.
Memakai hadits tersebut maka mereka bikin akun anonim yang dengan massif dan terstruktur menggoreng isu, memfitnah, menebar berita hoax, dan lain-lain. Perbuatan yang sudah diharamkan oleh fatwa MUI tersebut oleh mereka dihalalkan dengan hadits perang itu tipu daya. Semua hal yang jelek berubah menjadi boleh atas nama membela Islam.
Dan kita terkejut melihat massif dan terstrukturnya narasi di atas.
Saya ingin menegaskan bahwa apa yang mereka lakukan itu keliru dan salah besar. Tidak benar kita sekarang sedang berperang. Pemerintah tidak memerangi umat Islam. Kita sesama umat Islam tidak sedang berperang di Indonesia ini. Kita tidak pula sedang berperang dengan non-Muslim sesama warga negara Indonesia.
Mayoritas bangsa kita hidup dalam kerukunan, damai, dan terus menginginkan kedamaian. Pemerintah sedang fokus membangun infrastruktur yang telah terbengkalai dalam 20 tahun terakhir. Tidak ada ulama yang dikriminalisasi. Semuanya melewati proses hukum, dan benar atau salah akan dibuktikan lewat mekanisme peradilan. Merasa terzalimi atas status tersangka? Silakan ajukan pra-peradilan.
Tidak benar cara mereka mengkafir-kafirkan sesama umat Islam hanya karena berbeda pilihan politik. Hadits sahih mengingatkan untuk tidak sembarangan menuduh orang lain kafir karena tuduhan tersebut bisa berbalik kepadanya.
“Barang siapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh” (HR Bukhari-Muslim)
Tidak benar Presiden Jokowi itu PKI. Tidak benar PKI telah bangkit kembali. Semua itu hanya bagian dari narasi untuk membenarkan “peperangan” di atas. Fitnah ini luar biasa kejam, apalagi dilakukan atas nama Islam.
NKRI sudah disepakati para ulama dan pejuang kemerdekaan. Tidak benar ini pemerintah thogut. Ini pemerintahan yang sah dan telah dipilih melalui mekanisme Pemilu yang disepakati bersama. Tidak benar pemerintah Jokowi anti Syariat Islam. Tengoklah, semua pihak bisa beribadah. Kita mau sholat tidak dilarang. Puasa Ramadan, bayar zakat, pergi haji dan umrah juga tidak dihambat. Ada Peradilan Agama, Kementrian Agama, Majelis Ulama Indonesia, juga Bank Syariah. Sekian banyak Undang-Undang tentang Syariat Islam seperti UU Zakat, Wakaf, makanan halal, dan lainnya. Masak yang begini dibilang anti Syariat. Mikirrr!
Lantas bagaimana dengan Hadits perang itu tipu daya? Hadits ini memang diriwayatkan dalam sejumlah kitab hadits: Sahih Bukhori VI/110, Sahih Muslim:1739, Sunan Abi Dawud: 2636 dan Sunan At-Tirmidzi: 1675. Para ulama memberi komentar:
Dahulu Nabi SAW mengutus banyak pasukan kecil dan memberi nasehat agar berjalan waktu malam dan ketika siang bersembunyi agar musuh terperangah. Contoh tipu daya dulu seperti itu. Meskipun diperbolehkan tipu muslihat dalam peperangan namun etika tetap dipertahankan. Islam telah menempati ketinggian derajat dalam berkomitmen menepati janji dan melarang mempergunakan provokasi dan tipu muslihat yang meniadakan (komitmen dalam perjanjian).
Imam An-Nawawi berkata: “Para ulama bersepakat atas bolehnya menipu orang-orang kafir dalam peperangan jika memungkinkan kecuali jika mengandung unsur pengkhianatan terhadap janji atau jaminan keamanan, maka hal itu tidak halal.”
Imam Thabari berkata: “Penipuan yang diperbolehkan dalam peperangan adalah penipuan yang berupa kiasan dan bukan penipuan yang sebenarnya, sesungguhnya penipuan yang sebenarnya itu tidak halal.” Imam An-Nawawi berpendapat: “zhahir dari hadits adalah boleh melakukan penipuan yang sebenarnya. Akan tetapi lebih utama cukup menggunakan kiasan.”
Umar bin Khottob menulis surat kepada petugas tentara yang dia utus, “Telah sampai kepadaku bahwa ada orang diantara kamu yang mencari orang kafir non arab, sampai ketika terdesak di gunung dan menahan diri dia mengatakan, “Jangan takut, (akan tetapi) ketika dia dapatkan, dia bunuh. Sesungguhnya jiwaku yang ada di tangan-Nya. Tidaklah sampai kepada diriku ada orang yang melakukan itu, kecuali saya akan penggal lehernya.”
Kalau sudah berjanji memberikan keamanan dan perlindungan, maka tidak boleh kemudian menjebak dan menipu, meski dalam peperangan. NKRI dibangun atas janji “untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” (Pembukaan UUD 1945). Janji ini harus ditepati, dan tidak boleh dikhianati.
Bahkan terhadap orang yang jelas-jelas kafir pun kita tidak boleh memperlakukan mereka dengan kezaliman. Syekh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan:
“Kekufuran orang kafir itu tidak menghalangi kita berbuat adil dalam berinteraksi dengan mereka. Dalam ayat perintah untuk berbuat adil dan taqwa ada petunjuk untuk membuat batasan dalam pertempuran, misalnya mereka membunuh para wanita kita dan anak-anak kita, maka kita tidak dibenarkan melakukan pembunuhan yang serupa“.
Mari kita tunjukkan kemuliaan Islam lewat akhlak yang mulia, bukan lewat akun anonim yang gemar mencaci-maki. Umat Islam wajib berkontribusi pada peradaban dunia lewat prestasi, temuan teknologi, kreatifitas seni, dan perdamaian dunia, bukan dengan menebar berita bohong (hoax).
Mari kita ciptakan narasi bahwa umat Islam bisa maju dengan Iqra’ (menumbuhkan budaya literasi), bukan dengan boikot sana-sini, melarang orang membaca karya para ulama dan cendekiawan Muslim hanya karena berbeda pandangan.
Terhadap mereka yang terus mengutip hadits perang itu tipu daya, mari kita katakan pada mereka bahwa hadits itu sahih, tapi pemahaman Anda yang keliru. Kita tidak sedang berperang. Ulama dan pemerintah sedang bergandengan tangan membangun negeri kita ini dengan jalan damai. Semua tipu daya dalam kondisi damai, haram hukumnya!
Akun anonim merasa bebas memaki, melintir fakta, menggoreng isu & menebar hoax. Atas namaNya pula.
Mereka berani melakukan itu karena merasa tak bakal ketahuan.
Mereka lupa, di mata Tuhan, tak ada yg anonim. Semua tak luput dari catatanNya.
Tabik,
Nadirsyah Hosen