Menteri Perdagangan RI, Tom Lembong, memberikan keynote address di Monash University hari Jum’at kemarin. Saya biasanya paling malas menghadiri acara dengan pejabat seperti ini karena biasanya cuma seremonial belaka. Mendingan juga saya baca buku dan menulis
Tapi saya ‘terpaksa’ hadir untuk mewakili Dekan Monash Law School yang berhalangan hadir, dan sebagai satu-satunya orang Indonesia yang ada di Monash Law School saya diminta hadir mewakili Dekan, Prof Bryan Horrigan.
Saya sebelumnya tidak kenal dan tidak tahu menahu akan sosok menteri yang satu ini. Tampil di kalangan akademisi Monash, beliau sangat percaya diri dan bicara tanpa teks dengan bahasa Inggris yang fasih, argumen yang jelas dan visi yang jauh ke depan.
Lulusan Harvard University yang masa kecilnya dihabiskan di Jerman ini bukan cuma pintar tapi juga santun. Gayanya kalem, cool dan tidak meledak-ledak, padahal ia baru berusia 45 tahun. Suaranya terdengar berat, dan saya menduga kalau beliau bernyanyi Saiful Jamil pun bakal kalah 🙂
Yang mempesona saya, Pak Tom, ternyata cukup tahu diri bahwa sepintar-pintarnya ia, ia hanyalah ‘pembantu’ Presiden. Karena itu ia selalu menyitir visi Jokowi dan bagaimana ia berusaha menerjemahkan visi Jokowi tsb di depan akademisi Monash University. Dan dengan candid sang menteri menggunakan acara Master Chef bahkan film Star Trek untuk mengilustrasikan point-point pembicaraannya.
Tidak terlihat ia menonjolkan dirinya. Berulangkali yang ia tonjolkan adalah Sang Presiden RI, bukan dirinya sebagai menteri. Ia juga pandai menempatkan diri. Saat tampil di kampus, ia bicara visi, tidak seperti orang yang sedang jualan, padahal ia Menteri Perdagangan. Tentu topik perbincangan akan berbeda kalau ia bicara di depan kalangan pebisnis Australia.
Ketika saya diberi giliran bertanya, ia pun menjawab dengan diplomatis dan filosofis. Tidak terpancing dengan pertanyaan nakal saya yang hendak mem-push dia untuk bicara soal problematika hubungan Australia-Indonesia yang panas-dingin.
Indonesia ternyata punya banyak anak muda yang sangat pintar, santun dan bersahaja. Pak Tom jelas seorang non-Muslim dan keturunan Tionghoa. Tapi NKRI telah memberi peluang bagi setiap anak bangsa untuk berkontribusi bagi negaranya. Mereka punya hak dan kewajiban yang sama, apapun agama dan etniknya. Inilah Indonesia yang sesuai visi founding fathers kita: bhineka tunggal ika.
Buat yang masih saja keberatan kalau non-Muslim bisa punya posisi penting di tanah air, mereka lupa bahwa di jaman Khilafah pun orang non-Muslim juga bisa diberi jabatan penting seperti Menteri.
Pada masa khalifah Mu’awiyah telah diangkat sebagai bendahara seorang pendeta Kristen dari Damaskus yaitu pendeta John. Sejarah mencatat bahwa di bawah kekuasaan sultan Buwayhiyah, menteri luar negeri, menteri pertahanan, serta menteri keuangannya sering kali adalah orang Kristen.
Di bawah kekuasaan khalifah ‘Abbasiyah ke-16 al-Mu’tadhid, seorang Kristen taat bernama ‘Umar bin Yusuf, diangkat sebagai gubernur Provinsi al-Anbar, Irak. Nashr bin Harun, juga seorang Kristen, bahkan dipercaya menjadi perdana menteri di masa ‘Adud ad-Daulah (949-982M), penguasa terbesar Dinasti Buyid di Iran.
Di bidang militer, tentara Muslim lebih dari sekali dipimpin oleh seorang jenderal Kristen; contohnya seperti pada masa khalifah ‘Abbasiyah ke-15 al-Mu’tamid dan Khalifah ke-18 al-Muqtadir komando dipercayakan kepada perwira militer Kristen.
Kalau jaman Khilafah saja tidak tertutup pintu bagi non-Muslim yang cakap dan handal serta jujur untuk bisa berkiprah, apalagi untuk NKRI Indonesia di abad 21 ini.
Imam al Mawardi sudah menjelaskan dalam kitabnya al-ahkam al-sulthaniyah bahwa dalam hal kekuasaan pemerintahan berada di tangan kepala negara, dimana kedudukan para menteri hanya sebagai pembantu kepala negara dan sebagai pegawai/pejabat tinggi negara/pemerintah, yang dalam kajian siyasah syar’iyah disebut “wizaratut tanfidz” dibenarkan adanya anggota kabinet atau menteri dari non muslim.
Sebelum ada yang mencaci maki, saya tegaskan pada anda bahwa Imam Mawardi itu bukan syi’ah, bukan PKI, bukan JIL, dan bukan ulama kacangan serta tidak kenal dan tidak dapat bayaran dari Tom Lembong atau Ahok 🙂
Tabik,
Nadirsyah Hosen