Majalah Peradilan Agama edisi terbaru mewawancarai saya seputar peranan Peradilan Agama di tanah air, kaitannya dg pembaruan hukum islam, fatwa MUI, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, dan lainnya. Cuplikan wawancara, yang dilakukan oleh M. Isna Wahyudi, SHI, MSI dari Pengadilan Agama Badung Bali, disampaikan di bawah ini. Wawancara lengkapnya bisa diunduh di link yang saya sertakan di bagian akhir.
Tanya: Bagaimana Gus Nadir melihat perkembangan hukum Islam di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya, khususnya dalam bidang hukum keluarga? Apakah hukum Islam di Indonesia lebih progresif atau justru tertinggal?
Menurut hemat saya hukum keluarga dalam hukum Islam di Indonesia sangat progresif dibanding dengan sejumlah negara muslim lainnya. Misalnya pertama, dalam kasus hak talak.
Banyak persoalan di Australia dimana para imam setempat atau para syekh yang menganggap hak talak itu mutlak di tangan suami, sehingga ada istri yang kemudian sudah menggugat cerai suami di pengadilan keluarga di Australia dan dikabulkan, tapi karena suaminya tidak mau menceraikan secara Islam, maka di mata komunitas dan di mata para syekh, istri itu masih terikat pernikahan dengan suami.
Dan ini menjadi persoalan, karena si suami boleh nikah lagi, sementara si istri karena masih terikat pernikahan tidak boleh menikah, padahal sesuai hukum di Australia dia sudah resmi diputus. Ini juga terjadi di negara-negara muslim lain, dimana hak talak itu mutlak di tangan suami. Di tanah air, masalah ini dipecahkan dengan memberikan hak istri untuk menggugat cerai. Banyak ulama di Timur Tengah yang kaget dengan terobosan ini.
Kedua, kasus perceraian yang seenaknya hanya lewat SMS terjadi di sejumlah negara. Di tanah air, perceraian yang menistakan perempuan semacam itu tidak berlaku karena tidak dilakukan di muka pengadilan.
Ketiga, masih banyak negara muslim yang tidak membolehkan perempuan menjadi hakim wanita. Almarhum abah saya, Prof K.H. Ibrahim Hosen LML termasuk ulama awal yang membolehkan perempuan jadi hakim. Ini juga terobosan.
Paling tidak, ketiga hal di atas yang meyakinkan saya bahwa hukum keluarga di tanah air lebih progresif dibanding sejumlah negara muslim lainnya.
Tanya: Baik Gus, selanjutnya dalam hal pembaruan hukum Islam. Apakah tradisi hukum di Indonesia yang berdasarkan civil law sangat berpengaruh? Bagaimana dengan negara-negara muslim lain yang mengikuti tradisi common law?
Menurut saya iya, karena bangunan civil law itu fondasinya berdasarkan undang-undang, sehingga hakim hanya menerapkan bunyi undang-undang, menafsirkan dan menerapkan bunyi undang-undang, dan di sana ijtihad menjadi terbatas karena harus patuh pada bunyi undang-undang.
Ini saya kira berbeda dengan para hakim agama yang berada di tradisi common law, yaitu negara-negara muslim yang dijajah oleh Inggris, kemudian mengikuti tradisi common law. Berbeda, karena ternyata mereka melakukan terobosan-terobosan karena mereka memiliki keleluasaan untuk berijtihad. Saya kira ini kalau kita kembalikan kepada fitrah jati diri seorang hakim, dimana dalam literatur Islam dikatakan bahwa qadhi itu adalah seorang mujtahid, jadi saya selalu memandang bahwa para hakim di pengadilan agama itulah para mujtahid. Nah, paling tidak mereka punya kapasitas untuk berijtihad, karena itu gunakanlah kapasitas itu.
Jadi tidak benar kalau dikatakan pintu ijtihad telah tertutup. Kalaupun ada yang menutup, ya mari kita buka kembali, khususnya melalui para hakim di pengadilan agama. Sayangnya karena sistem hukum kita mengikuti sistim civil law, jarang sekali kita melihat dalam putusan pengadilan, baik itu di pengadilan agama maupun di pengadilan umum, yang berisikan argumentasi hukum dari para hakim ketika mengambil keputusan.
Jadi, aspek keyakinan hakim dalam mengambil keputusan itu tidak terwujudkan dalam bentuk argumentasi yang kokoh. Tentu saja para hakim punya argumen, tetapi masalahnya itu tidak dituangkan dalam bentuk tulisan putusan hukum. Kalau dalam 50 halaman putusan pengadilan itu, 49 halaman itu ya isinya adalah summary atau ringkasan dari jalannya persidangan dan bukti-bukti argumentasi para pihak yang berperkara. Halaman terakhir, halaman ke-50 baru bunyi putusan dan saya kira hanya ada dua paragraf berisikan penjelasan atau argumentasi atau reasoning, atau bahkan sering kali tidak ada sama sekali. Saya kira itu menyulitkan untuk para peneliti dan juga tidak mencerminkan kapasitas para hakim sebagai seorang mujtahid.
Saya mendorong para hakim di pengadilan agama untuk berani berijtihad dan melakukan terobosan-terobosan penting dalam hukum berdasarkan keadilan dan maqasid syariah. Mungkin putusannya akan dianggap aneh dan kemudian dibatalkan oleh pengadilan tingkat atas, tapi saya kira itu akan tercatat dalam sejarah, dan akan memicu diskusi-diskusi publik, akan memicu para guru besar hukum Islam untuk mempertimbangkannya, akan ada disertasi yang mengulas hasil-hasil ijtihad itu.
Saya kira itu tidak masalah. Toh pada saatnya nanti mungkin orang akan menerima terobosan-terobosan itu, yang penting berijtihad. Ijtihad tentu pada dua aspek, yaitu aspek hukum acara dan aspek hukum materiilnya. Jadi, kalau misalnya hukum acara itu tidak bisa mewujudkan keadilan, ya hakim juga harus berijtihad sebetulnya, begitu juga dengan hukum materiil. Tapi sekali lagi para hakim tidak berani melakukan ijtihad-ijtihad itu karena terbatas dengan sistem hukum kita.
Tanya: Kemudian sejauh mana peran yang dapat dilakukan oleh hakim peradilan agama terkait pembaruan hukum Islam di Indonesia?
Saya kira masih terkait. Sudah saya sebutkan tadi bahwa hakim itu sebagai seorang mujtahid. Saya punya harapan besar terhadap para hakim untuk mengembangkan teori-teori baru. Selama ini kan teori-teori baru itu dikembangkan di dunia kampus. Saya kira banyak sekali sekarang para hakim pengadilan agama yang sudah S3, muda-muda, dan luar biasa briliant. Saya berharap banyak kepada para kawan-kawan hakim-hakim muda yang briliant dan berwawasan luas itu untuk berani bukan hanya sekedar mengetok palu tetapi juga berani untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam bidang hukum keluarga maupun hukum ekonomi syariah.
Menurut saya hakim tidak usah minder. Hakim peradilan agama tidak usah minder dengan para dosen. Kalau dulu itu kan seringkali dianggap lulusan-lulusan terbaik fakultas syari’ah itu tidak ada yang mau jadi hakim. Biasanya mereka inginnya jadi dosen. Sehingga dulu waktu saya di fakultas syariah ya kesannya orang yang jadi hakim itu adalah orang-orang yang tidak diterima menjadi dosen. Saya kira sekarang sudah tidak benar hal seperti itu. Kapasitas hakim juga tidak kalah dengan dosen.
Seperti saya bilang tadi bahwa banyak sekali sudah para hakim yang mendapatkan gelar S3. Kalangan akademisi pun sangat menghormati profesi para hakim. Jadi tidak usah ragu-ragu, tidak usah kecil hati, dan tidak usah minder untuk melakukan terobosan-terobosan hukum. Bahkan putusan-putusan hakim di pengadilan agama itu nanti bisa dilakukan kajian ilmiah lewat seminar-seminar maupun disertasi, ataupun buku. Saya kira banyak sekarang para hakim muda yang sudah menulis buku, dan itu sebuah langkah-langkah yang sangat positif.
Selengkapnya: Interview Majalah PA