Telah terbit sebuah buku yang membahas tentang Agama, Hukum dan Intoleransi di Indonesia. Buku ini diedit oleh Prof Tim Lindsey dan Dr Helen Pausacker dari The Centre for Indonesian Law, Islam and Society (CILIS) di Melbourne Law School. Buku ini berisikan 18 chapter yang ditulis oleh pakar, pengacara dan aktivis di Australia dan Indonesia.
Ada nama-nama besar seperti Prof Simon Butt, Prof Greg Fealy, Sidney Jones (sekedar menyebut contoh), sementara dari kalangan Indonesia diantaranya diwakili oleh tulisan Prof Arskal Salim, Dr Dina Afrianty, Dr Euis Nurlaelawati, Ahmad Suaedy dan Prof Dr Adnan Buyung Nasution. Bahkan buku ini didedikasikan untuk Bang Buyung yang meninggal saat buku ini masih dalam proses editing.
Dulu sewaktu saya kuliah s1 di IAIN Jakarta, saya pernah mengundang Bang Buyung dan jadi moderator acara diskusinya. Saat itu rejim Soeharto sedang jaya-jayanya. Walhasil, selepas acara saya ditarik intel polisi dan ditanyai macem-macem kenapa kok berani-beraninya menghadirkan tokoh anti Soeharto saat itu. Tentu sekarang sebuah kehormatan, lebih dari 20 tahun kemudian ada tulisan saya dalam buku yang didedikasikan untuk Bang Buyung ini.
Tulisan saya menyoroti peristiwa 4 tahun lalu dalam Pilkada DKI ketika Jokowi-Ahok secara mengejutkan keluar menjadi pemenang padahal dihantam isu agama dan ras. Saya menganalisa perdebatan yang terjadi saat itu. Kemenangan Jokowi-Ahok saat itu dianggap indikasi kuat bahwa penduduk Jakarta lebih mementingkan perubahan yang lebih baik akan pelayanan publik dan keteraturan kota ketimbang tenggelam dalam isu agama dan ras. Tapi itu tahun 2012. Saat ini menjelang Pilkada DKI 2017, isu ras dan agama semakin menguat: akankah penduduk Jakarta lebih apresiasi pada hasil kinerja Gubernur atau terus mengangkat isu pemimpin kafir dan keturunan etnik Cina? Kita lihat saja tahun depan dan siapa tahu saya bisa membuat tulisan berikutnya lagi 🙂
Kolega saya yang riset dan mengajar hukum Australia bertanya, “kenapa kamu bisa produktif sekali menulis, Nadir?” Jawaban saya singkat sambil bercanda: “semakin banyak problem di Indonesia, semakin banyak hal yang bisa saya tulis. Anda risetnya tentang Australia, sebuah negara yang makmur dan tentram. Pasti bingung kan apa lagi yang mau ditulis?! Kalau saya tidak pernah kehabisan bahan …..”
Contohnya lihatlah berbagai persoalan yang diangkat dalam buku ini. Kenapa angin reformasi dan demokrasi yang berhembus sejak turunnya Soeharto itu justru menyuburkan kelompok garis keras yang lebih mengedepankan identitas keagamaan dan kesukuannya ketimbang identitas keindonesiaan? Jawabannya ada di dalam buku ini.
Catatan akhir saya: Amat menarik mengikuti berita berkumpulnya para sufi dan ahli tarekat sedunia di Pekalongan baru-baru ini, dibawah kordinasi Habib Luthfi bin Yahya, yang secara luar biasa mengambil tema mengenai bela negara. Habib Luthfi yang keturunan Arab dan tidak diragukan lagi kealiman beliau dalam ilmu keislaman, justru lebih mengedepankan nilai-nilai kebersamaan sebagai warga negara. Meng-Indonesia adalah bagian dari identitas keislaman dan kesukuan kita: ketiganya tidak perlu dipertentangkan; justru harus saling menguatkan. Maka tertolaklah mereka yang atas nama kitab suci malah menginginkan Indonesia menjadi carut marut penuh konflik dan fitnah. Semoga Allah, Nabi dan para kekasihNya terus menjaga Indonesia. Shallu ‘alan Nabi!
Tabik,
Nadirsyah Hosen
salah satu kontributor dalam buku Tim Lindsey and Helen Pausacker (eds.) Religion, Law and Intolerance in Indonesia (Routledge, New York, 2016)