Setiap orang punya kisah masing-masing. Sebagian ada yang diceritakan. Sebagian lagi ada yang memang tak perlu dibahas. Sebagian ada yang bisa dijadikan pelajaran untuk umum. Sebagian ada yang tak pantas dicontoh. Tapi dari semua kejadian dan peristiwa, selalu ada cerita dibaliknya.
Cerita kali ini tentang kunjungan ke Vatikan. Saya senang mengunjungi rumah ibadah pemeluk agama lain. Tentu bukan untuk beribadah karena saya tetap memegang prinsip “lakum dinukum waliyadin” (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku).
Mengunjungi rumah ibadah agama lain itu sebagai bagian dari mempelajari sejarah peradaban dunia. Agama tidak melulu soal aqidah, tapi juga ekspresi keberagamaan dalam berbagai bentuk karya seni, interior dan arsitektur.
Peradaban Romawi, bersama peradaban Yunani dan Islam, merupakan cikal bakal peradaban manusia modern. Manusia modern yang mencintai dunia ilmu, filsafat dan seni, membangun tata kota yang tertib dengan aturan hukum yang adil serta interaksi sosial atas dasar saling menghormati dan tolong menolong adalah warisan peradaban (civilization) yang harus kita jaga.
Di kota Roma saya melihat jejak peradaban 2000 tahun itu. Bagaimana manusia mampu berkreativitas, memecahkan persoalan, dan pada saat yang sama juga mampu menghancurkan bangunan fisik maupun relasi cinta dan kasih sayang dalam sekejap. Toh, kita juga diberi kemampuan oleh Allah untuk memaafkan masa lalu, memperbaiki kesalahan dan membangun kembali dari sisa puing yang terserak.
Sekarang kita mengerti bagaimana Allah menjadikan Adam dan anak cucunya sebagai khalifah di bumi: kita memiliki daya membangun dan merusak sekaligus.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya ayat 105, Allah swt memberikan pernyataan dengan tegas bahwa bumi dan seisinya hanya pantas diwariskan kepada orang-orang shalih. Orang shalih tidak akan merusak alam dan lingkungan. Orang shalih tidak akan membuat kerusakan di daratan maupun di lautan. Orang shalih tidak akan membunuh sesama manusia tanpa alasan yang jelas. Orang shalih menebarkan salam ke delapan penjuru angin. Orang shalih memiliki akhlak yang mulia.
Mereka yang berbuat kerusakan dan angkara murka dalam setiap periode sejarah selalu bisa dikalahkan oleh para pewaris bumi. Para perusak bumi adalah generasi sisa. Para pewaris bumi adalah generasi kini dan masa depan.
Puasa adalah ritual klasik para pewaris bumi. Al-Quran pun menegaskan bahwa umat sebelumnya pun telah diwajibkan berpuasa (kama kutiba ‘alalladzina min qablikum). Menahan dan mengontrol diri adalah latihan yang dilakukan sepanjang sejarah peradaban manusia.
Jadi saat kita berpuasa sebenarnya kita tengah menggabungkan diri kita dalam konteks sejarah kemanusiaan kita. Kitalah para pewaris bumi yang shalih. Kelangsungan peradaban manusia berada di tangan mereka yang mampu memaksimalkan potensi kemanusiaannya dan pada saat yang sama terus berlatih mengontrol tabiat jelek kita. Semoga.
Tabik,
Nadirsyah Hosen