You are here:

Tentang Amal Perbuatan dalam Perspektif Kitab al-Hikam

“Jika Tuhan hendak menampakkan karuniaNya kepadamu, maka Dia ciptakan amal dan kemudian dinisbatkannya kepadamu” (Al-Hikam – Ibn Athailah).

Seringkali kita terpesona dengan cara Allah menuntun kita membuka jalan menuju ladang amal kebaikan. Dibentangkannya kesempatan untuk kita menunaikan janji, mengabdi dan mengamalkan apa yang telah Tuhan ajarkan sebelumnya kepada kita. Tuhan bekerja dengan cara-Nya, lantas semua kesuksesan itu dinisbatkan kepada kita, seolah-olah itu semua hasil kerja keras dan perjuangan kita.

Sebenarnya itu hanyalah karuniaNya kepada kita karena Dia lah yang menciptakan amal untuk kemudian kita turut mengerjakannya. Maka pada setiap amal pekerjaan kita, niatkanlah sebagai bentuk pengabdian kita untukNya. Mengapa demikian?

Amal itu bermula dariNya dan kita kembalikan hanya kepadaNya. Dia lah yang Awal dan Dia pula yang Akhir. Inilah teologi amal.

Ibn Athaillah: “Di antara tanda keberhasilan pada akhir perjuangan adalah berserah diri kepada Allah sejak permulaan.”

Cara kita menyambungkan niat kita dengan Allah sebelum melakukan aktivitas menentukan nilai keberhasilan. Segala amal perbuatan tergantung niat. Begitu pesan Nabi dalam Hadits shahih.

Begitu niat sudah kita pasang efeknya dahsyat karena semua gerak panca indera mengikuti niat tersebut. Hati dan pikiran menjadi fokus. Begitu hebatnya nilai sebuah niat, langsung tercatat sebagai sebuah kebajikan meskipun kelak tak jadi dilaksanakan.

Ibn Athaillah: “Janganlah cita-citamu tertuju pada selain Allah. Harapan seseorang tak akan dapat melampaui yang Maha Pemurah”.

Pasang niat yang baik di awal, dan tujukan semua akhir kepadaNya. Karena Dia-lah yang Maha Pemurah. Seberapa pun besar harapan yang kita tujukan padanya, semua akan berada dalam jangkauan rahmatNya. RahmatNya meliputi semuanya. Maka janganlah berputus asa baik di awal perbuatan, di tengah, maupun di akhir karena sudah kita letakkan harapan di tanganNya. “Siapa yang tidak mensyukuri nikmat, berarti menginginkan hilangnya. Dan siapa yang mensyukurinya, berarti telah secara kuat mengikatnya“.

Ibn Athaillah kembali mengajarkan kita bhw sebaiknya kita ikat nikmat pemberian Allah itu dengan rasa syukur. Pemberian Allah yang kita ikat dengan rasa syukur, akan semakin kuat nilainya, dan terus bertambah. Sebaliknya, kufur nikmat akan menghapusnya.

Komplit sudah amalan kita jika niat sudah mantap di awal, tujuan amal hanya kepada Allah dan syukur mengikat nikmat di akhir.

Tabik,

Nadirsyah Hosen