Nabi Muhammad SAW pernah berdoa saat sujud:
[aswaja_arabic display=”block”]للَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَأَعُوذُ بِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ[/aswaja_arabic]
[aswaja_translation]“Ya Allah, sungguh aku berlindung dengan keridhaanMu dari murka-Mu, dan aku berlindung dengan pemaafan-Mu daripada hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari Engkau. Dan aku belum memuji-Mu sebagaimana Engkau selayaknya dipuji” (HR Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad)[/aswaja_translation]
Dalam kitab Ihya, Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menjelaskan kandungan spiritual doa di atas:
Kalimat pertama dalam doa Rasul: “Ya Allah, sungguh aku berlindung dengan keridhaanMu dari murka-Mu”, ini berdasarkan pandangan Nabi Muhammad terhadap tindakan Allah. Seolah saat sujud itu Nabi hanya melihat Dia dan tindakan-Nya semata –tidak yang lain, sehingga Nabi pun berlindung kepada Allah dalam tindakan-Nya (keridhaan) dari tindakan-Nya (kermukaan).
Kemudian Nabi lebih mendekat lagi, dan kini Nabi tidak lagi melihat tindakan-Nya, yang Nabi saksikan adalah sumber dari tindakan-Nya, yaitu sifat Allah semata. Itulah sebabnya pada kalimat kedua Nabi merintih mesra dalam doanya: “dan aku berlindung dengan pemaafan-Mu daripada hukuman-Mu”. Inilah dua sifat Allah yang dirujuk oleh sang nabi: al-‘afuw dan al-mu’aqib.
Nabi menyadari kemudian bahwa vision (pandangan) beliau ini belum sempurna. Karena itu Nabi lebih mendekat lagi kepada Allah dalam sujudnya dan bergeser dari sifat ke dzat. Tidak ada tindakan atau sifat-Nya yang Nabi kini saksikan. Cuma ada Nabi dan Dia. Maka Nabi pun berbisik mesra pada Sang Kekasih: “Dan aku berlindung kepada-Mu dari Engkau” (a’udzu bika minka). Inilah kondisi yang melesat dari Dia menuju Dia tanpa perantara sifat dan tindakan-Nya.
Lebih dekat lagi, dan Nabi melihat dirinya sudah lenyap. Inilah batasan seorang hamba. Dalam batas ketidakmampuan hamba yang tenggelam dalam keterpesonaan “menyaksikan”-Nya saat sujud, Nabi pun berucap lirih: “Dan aku belum memuji-Mu sebagaimana Engkau selayaknya dipuji”. Hanya Dia dan Dia yang mampu memuji dzat-Nya seperti yang Dia pantas dan layak untuk dipuji. Insan kamil sekalipun tidak sanggup mengekspresikan pujian dan terima kasih kepada-Nya sesempurna dzat-Nya.
Semua pujian berasal dari-Nya, dan kembali kepada-Nya. Selain itu, lenyap sudah.
Demikianlah kawan, semakin dekat kita pada-Nya semakin kita sadar betapa kita belum berterima kasih pada-Nya dengan layak. Maka saat kita angkat kepala kita dari sujud setelah membaca doa itu: apa yang kita lihat? Kemanapun kita edarkan pandangan mata kita, yang kita lihat adalah anugerah dan kasih sayang-Nya, baik terwujud dalam tindakan dan sifat-Nya maupun dalam penciptaan-Nya.
Mendekati-Nya dengan berterima kasih pada-Nya. Sesederhana seperti angin yang berhembus, tapi kandungannya lebih dalam dari samudera. Terima kasih Ya Allah….. #kembalibersujud
Tabik,
Nadirsyah Hosen