PEMBUBARAN Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang diumumkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto pada 8 Mei lalu menuai polemik di masyarakat. Pernyataan yang semula dianggap merupakan sikap tegas pemerintah Joko Widodo malah direspons sebagai sikap kegamangan pemerintah dalam memproteksi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Problem utama ialah pada posisi pemerintah yang cenderung bersikap kompromi dalam ranah politik-hukum. Pada satu sisi, pemerintah tidak ingin terlihat bersikap otoriter dengan melanggar nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan negara hukum. Pada sisi lain, pemerintah kesulitan mengontrol pergerakan aktivitas HTI yang semakin menggeliat. Sudah sejak lama banyak kalangan memperingatkan pemerintah akan bahaya HTI vis-a-vis NKRI. Sekarang HTI sudah merasuk ke kalangan aktivitas kampus, halakah, pejabat, bahkan purnawirawan militer.
Kegamangan itu semakin terlihat ketika pemerintah khawatir dianggap melukai hati para tokoh Islam sehingga bisa memicu aksi massa Islam jilid berikutnya. Pengumuman Menko Polhukam Wiranto sehari sebelum vonis kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dibaca khalayak sebagai langkah kompromi: pembubaran HTI seolah ditukar dengan vonis 2 tahun penjara untuk Ahok. Pemerintah tentu saja membantah kesan di atas. Namun, mengapa pengumuman Menko Polhukam dilakukan sehari sebelum vonis Ahok? Kalkulasi politik apa yang tengah dihitung pemerintahan Jokowi? Kita tahu selama ini gerakan Islam di belakang tuntutan kasus Ahok berhadapan dengan mereka yang mengangkat isu kebinekaan dan menjaga NKRI. Suara dukungan dari MUI menjadi penting bagi langkah pemerintah membubarkan HTI. Kesan pemerintah meninggalkan umat Islam menjadi terhapus oleh dukungan itu. Apalagi keesokan harinya vonis Ahok disambut dengan pekik takbir sebagai tanda sukacita GNPF-MUI (Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI). Pada saat yang sama, pembubaran HTI membawa pesan bahwa pemerintah tetap komitmen menjaga NKRI. Dua hari itu (8 dan 9 Mei) pemerintah Jokowi memainkan kartunya untuk mendulang simpati aksi umat Islam sekaligus mereka yang hendak memproteksi NKRI. Pemerintah cukup cerdik hanya membubarkan HTI dan tidak menyasar pada pembubaran FPI (Front Pembela Islam), yang bisa memancing reaksi luas.
GP Ansor yang selama ini berhadapan langsung dengan massa HTI merasa pengumuman yang dilakukan Wiranto itu telah menegaskan kehadiran negara. Sebelumnya banyak kiai yang menganggap pemerintah dan TNI/Polri membiarkan Banser (Barisan Ansor Serbaguna) berhadap-hadapan dengan HTI. Pembiaran itu membuat eskalasi konfl ik meningkat di tengah masyarakat. Belum lagi banyak pejabat daerah ataupun petinggi militer yang bukan saja menerima resmi kunjungan HTI, melainkan juga malah terlibat menghadiri acara HTI. Stasiun televisi resmi milik pemerintah juga pernah menyiarkan langsung kegiatan HTI. Bayangkan, gerakan yang hendak mengganti NKRI dengan ideologi dan sistem khilafah malah dirawat aparat pemerintah dan oknum satuan militer/kepolisian, dan Banser seolah dibiarkan bergerak sendirian menjaga NKRI berhadapan dengan HTI. Sekali lagi, pengumuman Wiranto dianggap sebagai jawaban dari keluhan ini dan pemerintah terlihat tengah menarik garis tegas dengan HTI. Akan tetapi, pengumuman Wiranto tidak serta-merta membubarkan HTI secara resmi.
Berbeda dengan pemerintahan Orde Baru, pemerintah di era reformasi ‘terjebak’ dalam semangat kebebasan ekspresi, berkumpul, berpendapat, dan berserikat. Bandul kebebasan bergerak dari satu titik ekstrem pengekangan di masa Orde Baru menuju ke titik ekstrem lainnya yaitu kebebasan, yang dianggap sementara kalangan telah kebablas an. Kesalahan terbesar pemerintah sebelumnya yang telah melegalisasi keberadaan HTI sebagai ormas, tanpa menyimak dengan teliti platform dan ideologi HTI, kini harus dibayar dengan mahal. Mencabut keputusan itu ternyata tidak semudah memencet tombol delete di smartphone. Sedari awal seharusnya HTI tidak dapat disahkan sebagai ormas karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), yang berbunyi, ‘Asas Ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945’. Karena mereka sudah telanjur disahkan sebagai ormas, pemerintah harus menempuh prosedur berliku. Dalam Pasal 59 UU Nomor 17 Tahun 2013 dijelaskan tentang larangan bagi sebuah ormas, yakni melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan. Dalam Pasal 60 disebutkan, pemerintah bisa membubarkan suatu ormas berbadan hukum melalui beberapa tahapan, yakni pemberian sanksi administratif berupa tiga kali peringatan tertulis. Secara berjenjang peringatan itu bisa memakan waktu tiga bulan. Sementara itu, dalam Pasal 64 UU Nomor 17 Tahun 2013 diterangkan, apabila surat peringatan ketiga tidak dihiraukan, pemerintah bisa menghentikan bantuan dana dan melarang ormas tersebut melakukan kegiatan selama enam bulan. Jika ormas tersebut berskala nasional, perlu mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Selanjutnya, apabila dalam waktu 14 hari tidak ada pertimbangan dari Mahkamah Agung, pemerintah berhak menghentikan sementara kegiatan ormas tersebut. Pasal 68 menerangkan, apabila ormas tetap melakukan kegiatan setelah diberhentikan sementara, pemerintah dapat mencabut status badan hukum setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Proses di pengadilan negeri memakan waktu paling lama dua bulan. Keputusan peng adilan negeri hanya bisa dimintakan kasasi, tidak melalui banding. Proses kasasi dalam UU Ormas memakan waktu 40 hari dan keputusan kasasi harus ditetapkan Mahkamah Agung dalam jangka waktu 60 hari
Penyelundup demokrasi
Semua proses berliku ini memakan waktu tidak kurang dari 15 bulan. Pernyataan Menko Polhukam pada 8 Mei belum dihitung karena proses 15 bulan ini baru dihitung sejak dilayangkannya peringatan pertama, yang entah kapan akan dikirimkan ke HTI. Pembubaran resmi HTI tersandera oleh prosedur hukum yang berliku. Pada titik itu, HTI muncul sebagai ‘penyelundup’ demokrasi. HTI yang sejatinya menolak demokrasi, karena dianggap sebagai sistem kufur, justru bergantungan untuk hidup pada tali kebebasan yang disediakan demokrasi. HTI lupa bahwa pada masa khilafah dulu, yang namanya pelarangan, pembubaran, dan penangkapan itu hal biasa yang dilakukan para khalifah. Misalnya peristiwa mihnah yang melibatkan Imam Ahmad bin Hambal terjadi pada saat pemerintahan Dinasti Abbasiyyah, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq. Ini artinya HTI bisa dengan mudah dilarang khalifah seandainya kita saat ini berada pada masa khilafah. Jaminan konstitusi akan kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berserikat itu hanya untuk mereka yang memang menerima Pancasila dan UUD 1945. Kalau HTI menolak keduanya, mengapa masih berharap mendapat jaminan hidup dan kebebasan dari sistem yang mereka kafi r-kafi rkan? Menjadi ironis HTI tumbuh berkembang dalam era demokrasi untuk perlahan kelak membunuh demokrasi Pancasila.
Tidak bisa polos dan naif menghadapi kelompok ‘penyelundup’ demokrasi. Pertanyaannya, sejauh mana demokrasi bisa menoleransi gerakan yang hendak menghabisinya? Pemerintah terlihat gamang menjawab pertanyaan itu. Pernyataan Wiranto hanya menyatakan kehendak pemerintah membubarkan HTI, tetapi prosesnya di serahkan kepada pengadilan. Regulasi yang ada dianggap menjerat satu kaki pemerintah dan pemerintah menyerahkan kaki satunya lagi kepada badan peradilan. Alih-alih bersama parlemen merevisi peraturan perundang-undangan untuk menarik bandul kebebasan ke tengah, pemerintah malah melempar bola panas ke pengadilan untuk memproteksi NKRI. Pengadilan juga memiliki problemnya sendiri. Pada satu sisi peradilan memiliki kewenangan independen, tapi pada sisi lain akuntabilitas peradilan tidak berjalan beriringan. Sama dengan bandul kebebasan di atas, palu peradilan berayun dari satu titik ekstrem intervensi dan pengekangan di masa Orde Baru menuju titik ekstrem lainnya di masa reformasi, yaitu kebebasan mutlak minus akuntabilitas. Dengan kata lain, ada kemungkinan upaya pemerintah membubarkan HTI kandas di tangan palu hakim. Pemerintah tidak bisa sepenuhnya menggantungkan nasib NKRI pada palu hakim. Bahkan ketika pemerintah mengikuti semua langkah prosedural pun, keputusan pengadilan bisa saja mengejutkan dan pemerintah harus menerima apa pun keputusan itu. Strategi pemerintah untuk melakukan kompromi politik-hukum, pembiaran eskalasi konfl ik di masyarakat, dan lalu melempar bola panas ke lembaga lain untuk memberi keputusan akan dibaca sebagai langkah gamang pemerintah. Pemerintah seharusnya melakukan langkah proteksi-strategis pada level kebijakan dan intervensi sosial-budaya pada tataran masyarakat. Berhentilah memandang persoalan HTI ini semata dari sudut kalkulasi politik. Melawan ideologi yang hendak mengganti Pancasila tidak bisa dilakukan dengan sikap gamang. Taruhannya terlalu berat untuk anak-bangsa!