Jakarta , Rabu, 07-08-2002 20:09:59
GATRA.com – IMAM Abu Ishaq al-Syatibi dalam karyanya, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, menyatakan bahwa ulama pemberi fatwa (mufti) selalu berdiri di tengah kompleksnya problematika masyarakat muslim, sebagaimana posisi Nabi Muhammad SAW. Sebab, ulama adalah pewaris misi Nabi. Sejak 1926, Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi kaum ulama, telah menjalankan posisinya berdiri di tengah masyarakat untuk membimbing umat menyelesaikan problem ritual dan sosialnya.
Pada penghujung 1997, ulama-ulama NU mengeluarkan fatwa mendukung demonstrasi mahasiswa yang marak di berbagai kota. NU menganggap demonstrasi adalah bagian pelaksanaan amar makruf nahi mungkar. Enam bulan kemudian, Presiden Soeharto mengundurkan diri, antara lain, akibat demonstrasi mahasiswa. Akan tetapi, ketika Presiden Abdurrahman Wahid diganggu berbagai demonstrasi, sejumlah ulama NU menggulirkan wacana bughat (makar). Meskipun akhirnya ulama NU tidak jadi mengeluarkan fatwa tentang kriteria bughat, wacana itu telanjur bergulir dan menuai kecaman di mana-mana. Wacana bughat ini dianggap tidak konsisten dengan dukungan NU terhadap demonstrasi mahasiswa tahun 1997.
Pada Juli 2002 ini, setahun setelah turunnya Presiden Abdurrahman Wahid, NU kembali mengeluarkan fatwa, dan “keras”. Para ulama NU menyatakan bahwa jenazah koruptor yang belum mengembalikan uang hasil korupsinya tidak wajib disalati. Forum Bahtsul Masail NU mengacu pada hadis riwayat Imam Bukhari bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berkenan menyalati jenazah yang masih punya utang. Kelihatannya, NU menganggap koruptor sebenarnya telah “berutang” kepada rakyat karena uang yang diambilnya adalah uang milik rakyat, sehingga perilaku Nabi itu juga dapat diberlakukan di sini.
Namun, bukankah negara kita juga banyak utang? Jangan-jangan, kita semua akan wafat dalam keadaan menanggung utang negara dan karenanya tidak wajib disalati? NU berkelit dengan menganggap utang negara bukanlah utang yang harus ditanggung tiap-tiap individu rakyat.
Masalah lain muncul ketika koruptor mengembalikan harta yang “dipinjamnya”, apakah hukumannya menjadi gugur? NU menjawab “tidak!”. Pengembalian uang hasil korupsi tidak menggugurkan hukuman. Boleh jadi, NU merespons perkembangan kasus Buloggate II, di mana terdakwa telah mengembalikan dana Rp 40 milyar. Pendapat NU ini terhitung sebuah terobosan karena Imam Syafi’i, yang mazhabnya dianut secara luas oleh kalangan NU, dalam kitab Al-Umm berpendapat bahwa tobatnya pencuri dapat menggugurkan hukuman potong tangan selama kasusnya belum sampai ke meja hakim.
Selain itu, menurut Imam Abu Hanifah, hukuman atas tindak pidana pencurian itu bersifat pilihan: potong tangan atau mengembalikan (mengganti) barang yang dicuri kepada pemiliknya (Tafsir Fakhr al-Razi, Juz XI, halaman 228), atau menurut ulama lain, menafkahkannya di jalan Allah (Tafsir Ruh al-Ma’ani, Juz VI, halaman 135).
Pertanyaan yang muncul kemudian: hukuman apa yang layak bagi para koruptor? NU dengan “keras” menyarankan dikenakannya hukuman potong tangan, dan bahkan hukuman mati. Hukum kita tentu saja belum mengatur pidana potong tangan tersebut, dan pada saat yang sama NU menyarankan agar Pasal 29 UUD 1945 tidak diubah. Konsistensi dan efektivitas fatwa NU ini layak dipertanyakan. NU merujuk pada ketentuan hukum Islam soal pidana pencurian, namun menolak pemberlakuan Piagam Jakarta.
Bagaimana ini bisa terjadi? Saya menduga kuat, pembahasan soal Pasal 29 UUD 1945 dilakukan dalam Bahtsul Masail kategori maudhu’iyyah (tematik), sedangkan masalah korupsi dibahas dalam Bahtsul Masail kategori waqi’iyah siyasiyyah (politik aktual). Biasanya, kedua pembahasan ini dilakukan pada saat yang bersamaan dalam ruangan yang berbeda, dan diikuti peserta yang juga berbeda (berdasarkan pengalaman memantau Muktamar Lirboyo 1999). Itulah sebabnya, fatwa yang satu dengan fatwa yang lain terkesan tidak nyambung.
NU juga mengharamkan hibah yang diterima pejabat. Diduga kuat, fatwa ini merespons kecenderungan para pejabat “mengakali” pengisian daftar kekayaan. Boleh jadi, fatwa ini merujuk pada satu peristiwa ketika Nabi memarahi sahabat yang menjadi utusannya dalam memungut zakat di suatu kota. Utusan tersebut, selain berhasil mengumpulkan zakat, rupanya juga menerima berbagai pemberian. Ketika mendapat laporan soal ini, Nabi murka dan meminta harta pemberian itu dimasukkan ke kas negara. Nabi bersabda, “Kalau engkau bukan pejabat yang aku kirim, apakah mereka akan memberimu berbagai hadiah?” Nabi “mencium” adanya kepentingan tertentu di balik pemberian tersebut.
Sayangnya, fatwa soal haramnya hibah ini tidak dikeluarkan NU ketika Presiden Wahid digoyang kasus sumbangan Sultan Brunei. Tentu akan menarik kalau para ulama saat itu bertanya pada presiden, “Andai kata engkau bukan presiden, apakah Sultan Brunei akan memberi sumbangan tersebut?”
Terlepas dari kritik atas konsistensi dan efektivitas fatwa NU itu, suara ulama yang memahami kejengkelan rakyat terhadap akutnya praktek korupsi di semua level pemerintahan ini harus disambut gembira. ‘Ala kulli hal, fatwa ini merupakan suara moral yang tersisa, nada keadilan yang tertinggal dan gema harapan di tengah bayang-bayang kehancuran bangsa akibat korupsi yang merajalela.