You are here:

Ini RamadhanKu, Mana Ramadhanmu?

Nadirsyah Hosen

http://geotimes.co.id/ini-ramadhan-ku-mana-ramadhanmu/

Hidup ini sebuah proses panjang untuk belajar mengenali diri. Setiap detik adalah undangan dari Sang Waktu untuk kita terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Setiap kesalahan memang diganjar dosa, namun Tuhan sediakan juga ampunan-Nya seluas langit dan bumi. Setiap hal baik akan diganjar pahala, tapi Tuhan tegaskan juga bahwa surga hanya dapat dimasuki berdasarkan rahmat-Nya. Maka, ampunan dan rahmat-Nya menjadi incaran kita untuk menggapai ridha-Nya.

Syarat untuk memohon ampunan-Nya itu adalah kerendahan hati mengakui kesalahan kita. Syarat untuk mendapatkan rahmat-Nya itu adalah kerendahan hati mengakui ketidaksempurnaan ibadah kita. Syarat menggapai ridha-Nya itu adalah kerendahan hati menyerahkan dengan utuh diri kita untuk meniti shirat al-mustaqim.

Maka, ber-Islam itu adalah kerendahan hati. Dengan kata lain, merendahkan semua hal tentang diri kita sebagai seorang hamba di depan Malikin Nas (Raja semua manusia) dan Maliki Yaumiddin (Raja Hari Pembalasan). Dan, kini, datang bulan suci Ramadhan yang di dalamnya terkumpul: ampunan, rahmat, dan keridhaan-Nya.

Hidup ini adalah sebuah proses pembelajaran. Tuhan kirimkan satu bulan penuh untuk kita lebih tekun lagi belajar menghamba. Banyak training dilakukan untuk menjadi seorang pemimpin. Ramai diselenggarakan acara untuk membangkitkan motivasi hidup dan kerja. Namun, bulan Ramadhan ini berbeda; kita justru di-training untuk belajar merendahkan hati, menghamba dan mengikuti keinginan-Nya.

Makan, minum, dan hubungan seksual adalah tiga naluri dasar setiap manusia. Peperangan antar-bangsa sering terjadi hanya karena ingin merebut atau mempertahankan kenyamanan dan keamanan memenuhi ketiga unsur dasar itu. Banyak yang berebut jabatan dan kekuasaan yang ujungnya kembali lagi kepada ketiga basic needs tersebut. Itulah sebabnya, pembelajaran diri selama Ramadhan terfokus pada imsak (menahan) melakukan ketiganya sampai tiba waktu ifthar (berbuka).

Setiap agama sebenarnya punya latihan diri ini. Ada yang mengatur tidak boleh mengonsumsi makanan tertentu pada hari tertentu. Ada yang menganjurkan untuk give up (menyerah) tidak melakukan sesuatu yang amat disenanginya pada jangka waktu tertentu. Ada pula yang menyuruh melakukan proses penyepian memasuki keheningan diri sehari, seminggu, sebulan atau setahun.

Itu sebabnya al-Qur’an menggunakan frase ‘kamaa kutiba ‘alalladzina min qablikum’ (sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian) untuk menggambarkan bahwa proses latihan ini telah berlangsung lama sepanjang sejarah umat manusia.

Proses pembelajaran untuk mengenal diri ini bukan bertujuan untuk mengalahkan orang lain atau menguasai dunia. Justru tujuannya adalah mengalahkan diri sendiri. Musuh utama manusia itu adalah dirinya sendiri karena, seperti disindir habis dalam al-Qur’an, manusia itu sering berkeluh kesah, jarang bersyukur, tidak tahan menderita dan juga serakah tidak pernah puas atas apa yang dimilikinya. Belajar mengenali diri kita guna mengendalikan dan lantas menaklukkannya adalah perjuangan dalam setiap detik kehidupan.

Khusus untuk Ramadhan proses pembelajaran diri ini dengan cara tidak hanya merasakan kehadiran Tuhan dalam ketiadaan makanan, minuman, dan seks, tapi juga merasakan kehadiran mereka yang selama ini tidak sanggup memenuhi kebutuhan dasarnya. Di antara para shaimin dan shaimat itu ada Tuhan dan kaum fakir miskin–yang boleh jadi sepanjang tahun menahan lapar dan dahaga.

Artinya, proses pembelajaran diri ini dilakukan tidak sendirian, tapi melibatkan Tuhan dan juga kaum fakir miskin. Dari sini jelas sudah bahwa puasa Ramadhan bukan saja dimaksudkan menaklukkan diri kita sendiri, tapi juga, pada saat yang sama, kita belajar memahami bahwa penaklukan diri ini bukan bertujuan memuaskan diri kita sendiri, tapi justru dilakukan untuk melayani pihak lain, yaitu Tuhan dan kaum fakir miskin.

Pada titik ini, ibadah Ramadhan tidak lagi melulu bersifat spiritual, ia juga berdimensi sosial. Apalah guna menaklukkan diri kalau kemudian tidak bisa bermanfaat buat sesama? Untuk apa menempa diri sedemikian rupa kalau ujungnya hanya berguna untuk diri sendiri.

Ini bukan sekadar latihan fisik untuk meraih medali emas olimpiade. Ini bukan sekadar menempa diri guna mengejar kesaktian tertentu. Perintah mengeluarkan zakat fitrah di pengujung Ramadhan memberi pesan sosial yang amat jelas: Ramadhan tidak untuk dinikmati sendirian.

Muatan adat lokal memperkaya nuansa sosial ini. Bukan saja di pengujung Ramadan orang berbondong-bondong untuk mudik kembali pada fitrah diri, tapi juga mudik kembali ke kampung halamannya. Ini juga bagian dari proses pembelajaran diri untuk tidak tercerabut dari akar sosial kita bahwa sejauh-jauhnya kita merantau, selalu ada serpihan diri yang memanggil-manggil kita untuk kembali.

Sejauh kita melangkah, selalu ada momen pemberhentian untuk sejenak menoleh ke belakang. Dalam lagu Sang Penghibur, Padi menuliskan 4 baris yang mewakili apa yang tengah saya jelaskan ini:

Bukankah hidup ada perhentian
Tak harus kencang terus berlari
Kuhela kan nafas panjang
Tuk siap berlari kembali

Hidup ini proses panjang kita belajar. Ada satu bulan di antara dua belas bulan di mana kita diminta untuk tekun belajar mengenali diri. Sebagaimana layaknya mereka yang tengah belajar, ada orang-orang tertentu yang bukan saja lulus tapi juga mendapat bonus penghargaan. Ada satu malam di bulan Ramadhan yang disediakan untuk kita meraih bonus itu. Lailatul Qadr khairum min alfi syahrin: Malam yang mulia ini lebih baik dari seribu bulan.

Lengkap sudah proses pembelajaran diri di bulan suci Ramadhan. Ada proses menahan diri, menghadirkan keagungan Tuhan dan merasakan kesusahan kaum papa; ada proses penghambaan diri dan sekaligus juga berbagi rezeki; ada proses mudik ruhani dan mudik ke kampung halaman; dan ditambah pula bonus lailatul qadar.

Yang berhasil melewati proses pembelajaran diri sebulan ke depan akan mendapat ganjaran langsung dari Tuhan. “Puasa ini untuk-Ku”, begitu pesan dari langit dalam hadits qudsi. Maka, inilah Ramadhan-Ku, lantas mana Ramadhanmu?

Tuhan, izinkan bulan Ramadhan kami menjadi bagian dari Ramadhan milik-Mu. Izinkan semua aktivitas kami di bulan Ramadhan menjadi bagian dari kesucian dan kemuliaan Ramadhan-Mu. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

(Tapi sebentar, ada satu pertanyaan: kalau puasa itu menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seksual, di atas tadi disebut-sebut puasa melatih kita merasakan kesusahan kaum fakir miskin karena mereka selama ini telah ber-“puasa” sepanjang tahun dari makan dan minum, tapi bagaimana soal ber-“puasa” dari hubungan seks? Ditujukan untuk siapa sebenarnya?

Ehm, boleh jadi dalam urusan ini kita diminta turut merasakan kesusahan kaum jomblo. Jadi, kawan, siapa bilang Tuhan tidak peduli dengan kaum jomblo?!)

Marhaban Ya Ramadhan!