You are here:

Menawarkan Wajah Islam Moderat Ala Indonesia untuk Australia (detikcom)

bbc5dcc2-27b2-4fdd-84c4-c7308a0a5d5f

Muslim Australia dari beragam suku bangsa di depan Masjid Canberra (Foto: Ikhwanul Khabibi/detikcom)

Islam Australia kini telah dalam proses mencari wajah aslinya. Penduduk muslim di Australia yang berasal dari berbagai latar belakang menyebabkan sulitnya mengidentifikasi wajah Islam di Australia.
Komunitas-komunitas muslim di Australia saat ini hidup sendiri-sendiri berdasarkan kelompok asal negaranya. Maklum saja, dari jumlah 3% penduduk muslim di negeri Kanguru itu, sebagian besar adalah imigran yang tentu memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Sebagian kelompok itu ingin mengadopsi budaya Islam di negaranya untuk dibawa ke Australia.

“Karena banyaknya wajah Islam di Australia, tidak bisa dinafikkan masih ada Islamofobia di sini. Sebagian orang Australia mulai khawatir dengan jumlah muslim yang terus berkembang, takut nantinya orang muslim akan meminta hak lebih dan membawa pengaruh Islam ke Australia,” kata tokoh muslim di Victoria asal Indonesia, Dr Nadirsyah Hosen PhD, saat ditemui detikcomdan dua media lain yang difasilitasi Australia Plus ABC International di kantornya di Faculty of Law, Monash University, Melbourne, pada Mei 2016.

Nadir menjelaskan, kekhawatiran sebagian warga Australia itu bisa dipahami. Masalahnya, justru beberapa komunitas muslim memang mengeksklusifkan kelompoknya dan jauh dari pergaulan warga Australia. Sehingga, masyarakat juga menjadi sangat jauh dengan Islam dan sering timbul prasangka.
“Di Australia, agama dengan budaya itu campur aduk. Jadi masjid-masjid yang berdiri itu bukan hanya berdasarkan mazab tapi juga berdasarkan budaya. Komunitas Pakistan bikin masjid, komunitas Bosnia bikin, komunitas Turki bikin juga, akhirnya takmir masjidnya kan juga dari mereka, cara ibadahnya, program-programnya juga dari mereka, akhirnya komunitas lain merasa tersisihkan, ya mereka bikin juga,” tuturnya.

Perbedaan-perbadaan ini membuat sangat sedikitnya masjid yang bisa dipakai bersama. Beberapa komunitas ‘memaksakan’ budayanya digunakan di Australia, termasuk cara beribadah dan tata cara bergaulnya.

“Jadi kalau misal saya Jumatan di masjid Pakistan, bahasanya bahasa Urdu, lho saya ini muslim dari Indonesia yang ada di sini tapi saya nggak ngerti bahasa Urdu. Ke masjid Turki lain lagi bahasanya. Nah ini yang membuat pemerintah Australia kebingungan,” ujar Nadir.

“Makan misalnya, saya pernah diundang ceramah di salah satu masjid di Darwin, dua hari di sana, setiap makan yang dikasih adalah makanan Arab. Saya protes ‘kenapa nggak makanan Indonesia, kan ada restoran Indonesia? Apa masakan Indonesia itu tidak halal, apakah masakan Indonesia tidak dianggap sebagai bagian dari budaya Islam?'” cetus dosen ilmu hukum Konstitusi Australia itu.

Hal-hal tersebut membuat pemerintah Australia kebingungan menentukan wajah Islam di negerinya sendiri. Memang sebagian warga muslim sudah bergaul dan berbaur dengan warga Australia, namun masih banyak yang memilih ‘menepi’ dan menjauh dari pergaulan.

Oleh sebab itu, menurut Nadir, saat ini Pemerintah Australia mulai melirik wajah Islam Indonesia. Wajah Islam yang moderat, toleran dan bisa membaur dengan kebudayaan lokal.

“Karena itu pemerintah Australia saat ini sebetulnya mereka ingin, Islam Indonesia ini belum banyak diperkenalkan. Mereka melihat kenapa Islam di Indonesia itu lebih damai dan lebih ramah, kok tidak bisa mewarnai perkembangan Islam di Australia,” ungkapnya.

Nadir menegaskan, Australia membutuhkan Islam yang moderat dan bisa membaur dengan budaya lokal. Islam yang disebutnya ‘Islam Barbecue’, karena Barbecue merupakan kebudayaan orang Australia yang selalu ada di semua acara baik formal maupun informal.

Islam ala Indonesia, kata Nadir, bisa menjadi pilihan Australia meskipun warga muslimnya tidak lebih dari 3% dari sekitar 24 juta total penduduk Australia.

“Dalam konteks itu kami mengenalkan, ini lho, tengoklah Islam di Indonesia yang lebih ramah, lebih toleran, dan Islam Nusantara itu contoh bagaimana Islam di Indonesia ramah terhadap budaya lokal. Sementara kalau teman-teman dari Timur Tengah selalu mengidentifikasi Islam sama dengan Arab. Jadi sudah sampai di Australia gayanya masih gaya Arab. Ini dia tidak akomodatif terhadap budaya lokal,” tegas Nadir.

Namun, menawarkan Islam ala Indonesia ke Australia bukan tanpa halangan. Sedikitnya cendekiawan muslim Indonesia yang aktif di Australia membuat selama ini Islam ala Indonesia belum diperhitungkan untuk menjadi wajah Islam di Australia.

“Harus semakin banyak muslim Indonesia yang sukses di sini, baru dilihat. Kebanyakan di sini kan para mahasiswa yang datang dan pergi. Harus lebih banyak lagi orang Indonesia yang jadi businessman sukses di sini. Baru orang akan melihat bahwa ternyata jadi muslim itu tidak menghalangi seseorang untuk sukses,” urainya.

“Karena itu kita ingin memperkenalkan model Islam Nusantara di Australia, bukan harus pakai sarung, peci, tapi harus sesuai dengan budaya di sini. Saya sebut ‘Islam Barbecue’, Islam yang ramah dengan budaya lokal, Islam yang konstektual. Bukan Islam yang balik lagi ke zaman onta, pakai sorban salat boleh, pakai blangkon boleh, pakai topi koboi juga boleh. Anda tidak akan berkurang Islamnya hanya karena salat pakai blangkon atau celana jeans. Itu yang kita ingin sampaikan,” tandas Nadir yang juga merupakan Rois Syuriah NU cabang istimewa untuk Australia dan New Zealand.

Sementara itu, Duta Besar Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema menegaskan bahwa pemerintah Indonesia saat ini tengah gencar-gencarnya mengenalkan Islam wajah Indonesia ke pemerintah Australia. Nadjib mengatakan, Islam ala Indonesia yang moderat dan demokratis bisa menjadi contoh bagi wajah Islam di negeri Kanguru tersebut.

“Kami menunjukkan bahwa Indonesia pusat tempat tinggalnya umat Islam yang moderat, yang selalu membawa kedamaian. Dan itu diterima dengan sangat baik. Setiap kali saya berbicara dengan duta besar dengan pimpinan masjid baik di sini maupun Islamic Center itu selalu mereka memberikan apresiasi terhadap apa yang telah kita lakukan. Dan langkah itu dibantu oleh kawan-kawan KBRI bagaimana kita bisa menunjukkan wajah Islam yang damai, wajah Islam yang toleran, wajah Islam yang demokratis dan sebagainya,” kata Dubes Nadjib saat ditemui di kediamannya di Canberra.
(Hbb/nwk)