You are here:

Mencari Wajah Islam Australia (detikcom)

Foto: Dr Nadirsyah Hosen PhD, dosen Fakultas Hukum Universitas Monash asal Indonesia, Rois Syuriah NU cabang istimewa untuk Australia dan New Zealand (Ikhwanul Khabibi/detikcom)

Foto: Dr Nadirsyah Hosen PhD, dosen Fakultas Hukum Universitas Monash asal Indonesia, Rois Syuriah NU cabang istimewa untuk Australia dan New Zealand (Ikhwanul Khabibi/detikcom)

Tanah Australia yang begitu luas dihuni sekitar 24 juta warga. Dari jumlah itu, kurang dari 3% di antaranya adalah penduduk beragama Islam.
Warga muslim di Australia berasal dari berbagai latar belakang bangsa dan budaya. Di antaranya berasal dari Palestina, Yordania, Arab, Pakistan, Bangladesh dan tentu saja Indonesia.

Namun, justru beragamnya latar belakang warga muslim di Australia ini membingungkan pemerintah setempat untuk mencari wajah muslim Australia. Pemerintah Australia kini tengah mencari wajah muslim yang bisa menyatu dengan kebudayaan Australia.
Beberapa komunitas muslim di Australia justru menjadi sangat eksklusif dengan membangun masjid khusus komunitasnya bahkan sampai mengimpor langsung imam masjid dari negara asal.

“Tantangan muslim di Australia adalah kita sebagai minoritas. Seharusnya, sebagai minoritas kita harus melihat bagaimana mayoritas punya kebijakan,” kata tokoh muslim di Victoria asal Indonesia, Dr Nadirsyah Hosen PhD.
Nadirsyah saat ini merupakan dosen senior di Faculty of Law di Monash University. Dia mengajar hukum konstitusi Australia. Selain sebagai dosen hukum, Nadir juga merupakan tokoh muslim yang terpandang di Victoria.

Saat ditemui detikcom dan dua media lain yang difasilitasi Australia Plus ABC International di kantornya di Melbourne pada Mei 2016 lalu, Nadir bercerita tentang pemerintah Australia yang kini tengah disibukkan untuk mencari wajah muslim negeri kanguru itu.

“Pemerintah sebenarnya tidak ikut campur dalam masalah agama, termasuk agama Islam. Seperti misalnya izin mendirikan masjid pasti diberikan asalkan syarat-syarat seperti kenyamanan, tidak menimbulkan kebisingan, lahan parkir dan lain-lainnya terpenuhi,” jelas Nadir.

Warga Australia yang kini banyak bergaul dengan warga muslim sebenarnya sudah mulai menerima keberadaan komunitas muslim. Anggapan mereka bahwa muslim identik dengan kekerasan dan terorisme sudah mulai terkikis.
“Tapi tetap ada yang antipati. Mereka adalah orang yang tidak bergaul dengan orang-orang muslim, sehingga dia hanya mendapatkan informasi dari media. Kita bisa pahami itu,” ujarnya.

Tapi, beragamnya ‘jenis’ Islam di Australia membuat kebingungan tersendiri bagi warga maupun pemerintah. Kini, semua masih menerka-nerka mana Islam yang bisa masuk ke kebudayaan Australia.

“Karena di sini imigrannya kan macam-macam, tidak hanya dari Indonesia, dari Timur Tengah terus juga dari kelompok India yang dari Fiji juga banyak sehingga kemudian kita mau bilang wajah Islam di sini itu tidak bisa satu, many different faces. Secara teologi, secara aqidah, tetap satu tentu, tapi kan mazabnya berbeda, Pakistan itu kan mazabnya Hanafi sementara Indonesia, Brunei, Malaysia dan Singapura kan Syafii,” tutur Nadir.

“Belum lagi kulturnya berbeda, di Australia agama dengan budaya itu campur aduk. Jadi masjid-masjid yang berdiri itu bukan hanya berdasarkan mazab tapi juga berdasarkan budaya. Nah ini yang membuat pemerintah Australia kebingungan,” ungkapnya.

Menurut Nadir, seharusnya komunitas muslim di Australia juga bisa lebih akomodatif dengan budaya lokal. Bukan malah menjadi eksklusif dengan memaksakan memasukkan budaya-budaya dari tempat asal.
Bahkan sebaiknya imam masjid pun bisa berbahasa Inggris sehingga bisa berinteraksi dengan warga lain selain Islam. Masjid seharusnya juga bisa digunakan semua golongan Islam.

“Kultur yang berbeda itu harus satu menjadi meng-Australia. Konsep Bhinneka Tunggal Ika kalau di kita. Nah ini kalangan muslim imigran belum bisa, mereka masih menonjolkan kultur masing-masing. Tidak ada masjid untuk semua, bahkan imamnya dan cara ibadahnya itu dari komunitas yang mendirikan. Dan bahkan mereka tarik imamnya dari negeri mereka, nah itu problem lagi, karena pemerintah Australia melihat bahwa imam-imam impor itu tidak tahu budaya Australia,” kata Nadir.

Komunitas muslim juga harusnya lebih terbuka dengan pergaulan di Australia. Selama ini, muslim menjadi jauh dari kehidupan di Australia karena memang sebagian komunitas muslim yang sulit membaur dengan warga.

Nadir mencontohkan, tidak ada salahnya komunitas muslim mengikuti Christmas Lunch. Dia mengimbau agar tidak mencampuradukkan budaya dengan agama, apalagi saat ini warga muslim tersebut hidup di Australia sebagai minoritas.

“Di Australia ini merayakan Natal tidak ada unsur teologisnya, lebih pada budaya. Seperti orang mudik pulang kampung, jadi inilah waktu keluarga ketemu. Bahkan di kampus-kampus atau di tempat kerja ada Christmas Lunch, itu seperti makan akhir tahun aja, tidak ada unsur ceramahnya, doa agamanya tidak ada, makan biasa aja. Jadi betul-betul kultur. Itu kan bagian dari budaya, itu salah satu contoh bagaimana kalau kita mengerti konteks budaya di sini,” urai Nadir.

“Saya sebut Australia butuh ‘Islam Barbecue’, Islam yang ramah dengan budaya lokal, Islam yang konstektual. Bukan Islam yang balik lagi ke zaman onta, pakai sorban salat boleh, pakai blangkon boleh, pakai topi koboi juga boleh, Anda tidak akan berkurang Islamnya hanya karena salat pakai blangkon atau celana jeans. Itu yang kita ingin sampaikan,” tandasnya.

 

[aswaja_box color=”green” fade_in=”false” float=”center” text_align=”left” width=”100%”]Sumber: news.detik.com[/aswaja_box]