Saya memulai catatan pengantar ini dengan membaca Bismillah al-Rahman al-Rahim. Setiap pekerjaan yang kita lakukan dan diawali dengan membaca basmalah, maka kita telah bekerja atas nama Allah, dengan nama Allah dan untuk nama Allah. Maka ku tuliskan catatan pengantar memenuhi permintaan Candra Malik ini dengan mengucap basmalah.
Alhamdulillahi Rabb al-‘Alamin. Segala puji bagi Allah, Tuhan penguasa alam semesta. Ayat kedua surat al-Fatihah ini merupakan pujian kita kepada Allah. Kita bersyukur sejak masa Alastu ketika Allah bertanya: “bukankah Aku ini Tuhanmu?” sampai era media sosial saat ini, penghambaan kita terhadap Tuhan tidak bergeser sedikitpun. Buku Candra Malik ini adalah perwujudan dari segala puji bagi Allah. Tanpa Basmalah buku ini tidak akan mulai ditulis, dan tanpa Hamdalah buku ini tidak akan selesai ditulis.
Jikalau ilmu Syari’at itu perwujudan dari ayat “Maliki Yaum al-Din” dalam ayat keempat surat al-Fatihah, maka sesungguhnya ilmu Tasawuf itu merupakan perwujudan dari ayat “al-Rahman al-Rahim” dalam ayat ketiga surat al-Fatihah. Itu sebabnya kajian ilmu Syariah berujung pada dosa dan pahala serta surga dan neraka, sementara Tasawuf lebih bicara aspek kasih sayang ilahi.
Dalam sejarah pergolakan umat, kedua kajian ini sering dipertentangkan. Banyak sudah sufi yang mendapat vonis sesat oleh para ahli hukum Islam. Banyak pula yang begitu alergi mendengar kata Tasawuf. Oleh sejumlah ulama, Tasawuf bukan saja dianggap keluar dari pakem ilmu Syari’ah tetapi juga dianggap telah menjadi biang keladi kemunduran umat Islam. Di tengah kondisi seperti ini, sekonyong-konyong muncul seorang Candra Malik yang tanpa tedeng aling-aling mengaku dirinya sebagai sufi. Pengakuan itu dituliskannya di twitter. Sontak saja kehadirannya membuat orang terperangah. Sufi kok ngaku yah? Candra Malik menjawab kalem, “kalau orang jadi dosen saja boleh mengaku sebagai dosen, masak sufi gak boleh?” Sah!
Imaji orang kebanyakan tentang sosok sufi menjadi berantakan dengan kehadiran Candra Malik. Banyak para Kiai dan Gus yang bertanya kepada saya, “Siapa itu sebenarnya Candra Malik, Gus Prof?” Saya jawab, “meneketeheeee…” sambil tertawa. Lha kan aneh orang yang bergerak di bidang ilmu Syari’ah seperti saya mendadak ditanya tentang sosok sufi bernama Candra Malik. Lebih aneh lagi, saat bertemu dengan saya, Candra Malik malah bertanya, “saya ini siapa sih sebenarnya, Gus?” Gubrakkk!!!!
Saya tentu tidak ingin mempertentangkan antara ilmu Syari’ah dan Tasawuf. Bagi saya, itu seperti membenturkan antara ayat “al-Rahman al-Rahim” dengan “Maliki Yaum al-Din”. Lha dua-duanya kan ayat Allah. Bagaimana kalau kita lanjutkan saja ke ayat berikutnya? “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Faqih dan Sufi itu harus melewati ayat ini. Kalau Allah itu hanyalah yang kita ibadahkan (iyyaka na’budu) maka kita membutuhkan Syari’ah saja. Segala macam aturan dan tata cara ritual peribadatan dikupas tuntas oleh ilmu Syari’ah. Namun potongan ayat ini ada kelanjutannya: wa iyyaka nasta’in. Ini potongan ayat untuk para sufi: Allah-lah tempat kami memohon pertolongan. Dimensi mistis Islam muncul di sini. Karena ayat ini menggabungkan keduanya: aspek ritual dan mistis sekaligus, maka sebenarnya ilmu Syariah dan ilmu Tasawuf harus berjalan bersama melewati ayat kelima ini.
Para ulama Fiqh yang semata-mata mengandalkan ritual, akan mentok pada iyyaka na’budu. Sedangkan para ulama Tasawuf yang seolah melompati Syari’ah dan langsung masuk ke dalam ma’rifatullah dengan membaca iyyaka nasta’in, bisa dianggap melompati potongan ayat ini. Ada jarak tak terkira antara iyyaka na’budu dan iyyaka nasta’in. Yang gagal melewatinya akan dipaksa kembali pada titik Bismillah.
Candra Malik hadir dengan lagu-lagunya. Dia juga menulis puisi, novel, cerpen dan sejumlah fatwa rindu. Dia belajar Islam pada kakeknya. Belajar tasawuf pada sejumlah guru. Dia berusaha mengeja m.a.k.n.a ayat kelima ini dalam sejumlah karyanya. Dia menggapai-gapai Tuhannya untuk dia sembah dan dalam penghambaannya yang paling hakiki, dia memohon pertolongan Tuhannya. Dia sadar ayat kelima ini harus dilewati secara tuntas sebelum melangkah menuju ayat keenam.
Ihdina al-Shirat al-Mustaqim. Tunjukilah kami jalan yang lurus. Inilah permintaan seorang hamba yang meminta petunjuk Tuhan. Ada tiga cara meminta petunjuk ini. Pertama, mengikuti hukum tertulis yang digariskan Syari’ah. Kedua, membersihkan hati melalui istiqamahnya amalan harian agar selalu mendapat petunjuk yangb benar. Ketiga, melalui perantara orang-orang shaleh yang telah dibukakan kunci-kunci rahasia ilahi.
Dalam obrolan di sebuah cafe bersama Candra Malik, saya kisahkan bagaimana saya memahami ayat keenam surat al-Fatihah ini. Pertama saya berdoa untuk memohon petunjukNya, lantas berdoa memohon diberi petunjuk untuk menjalankan petunjukaNya tersebut, kemudian yang terakhir memohon agar setelah menjalani petunjukNya itu hidup kita pun menjadi bagian dari petunjuk Allah kepada hambaNya. Seperti biasa Candra Malik hanya tersenyum mendengarkan saya. Lantas dihisapnya rokok dalam-dalam. Dan dihembuskannya asap rokok pelan-pelan. Saya tak sempat memperhatikan apakah asap itu berubah menjadi huruf-huruf Allah atau tidak, tapi siapapun kita yang memohon petunjukNya, tentu berharap meneruskan langkah ini menuju ayat ketujuh.
Jalan orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat. Shirat alladzina an’amta ‘alayhim. Ternyata jalan lurus itu diberikan kepada mereka yang telah mendapatkan kenikmatan. Candra Malik hendak terus berbagi kenikmatan. Tanpa henti dia membuka kelas sufi, kelas meditasi, bahkan menyediakan kediamannya tempat orang datang belajar dan mengajar. Dia datangi pula semua kalangan. Mereka yang hancur hatinya, seperti para penderita kanker akut, dia datangi, berdoa bersama dan berbagi kenikmatan akan jalan lurus yang dia tempuh. Dia bergaul dengan semua kalangan, baik yang maish hidup atau yang sudah wafat. Semua di-sowani untuk saling berbagi kenikmatan jalan yang lurus.
Bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Ghair maghdub ‘alayhim wa lad dhallin. Kali ini potongan ayat terakhir surat al-Fatihah menohok tajam. Jalan yang lurus itu tidak pernah dilewati oleh mereka yang mendapat murka Allah. Para ulama sangat kahwatir mendapat murkaNya. Itulah sebabnya mereka berpatokan pada ilmu Syari’ah. Mereka tahu bahwa ketidaktaatan menjalankan aturan main yang Allah gariskan akan membuat tata laksana kehidupan menjadi kacau balau. Dan itu saja sudah indikasi yang paling jelas akan kemurkaan Allah. Sungguh jalan yang lurus itu tidak akan meninggalkan Syari’ah. Jalan yang lurus bukan jalan yang dilewati mereka yang mendapat murkaNya.
Jalan yang lurus itu juga tidak pernah dilewati oleh mereka yang sesat. Sebelum disesat-sesatkan oleh orang lain, kaum sufi lebih dulu sangat khawatir kalau mereka akan tersesat. Maka mereka menempuh segala macam riyadhah, melatih diri sedemikian rupa, dan terus menerus bermunajat mengharap ridhaNya. Jalan yang sesat adalah jalan yang bengkok. Para sufi terus berusaha berjalan menghampiri Allah di jalan yang lurus.
Candra Malik dalam buku ini mengupas tuntas Makrifat bukan dalam pengertian yang meninggalkan Syari’at. Candra Malik jelas berpegang pada Syari’at dalam balutan makrifatNya. Ada rakaat dalam makrifat. Tujuh ayat al-Fatihah telah saya bentangkan untuk memahami kehadiran Candra Malik dalam tubuh umat Islam saat ini. Mereka yang telah mampu menerapkan ketujuh ayat al-Fatihah adalah mereka yang telah mencapai maqam Makrifat Cinta. Selamat membaca buku ini, dengan mengirimkan al-fatihah kepada penulisnya dan semua gurunya. Lahumul fatihah…
Tabik,
Nadirsyah Hosen