Seorang Guru Besar Studi Keislaman di UIN Jakarta pernah cerita dengan bangga bahwa anaknya kuliah di salah satu perguruan tinggi top di Bandung. Tapi kemudian dia mulai resah sejak prilaku dan penampilan anaknya berubah. Selidik punya selidik, ternyata anaknya ikut pengajian kelompok tertentu.
Ngamuklah bapaknya. Bukannya belajar dan tanya soal keislaman sama bapaknya yang orang pesantren dan bahkan seorang Guru Besar, anaknya malah terpengaruh ikut pengajian yang tidak jelas. Bahkan bapaknya pun disalah-salahkan olehnya.
Sewaktu adik ipar saya meneruskan kuliah di sebuah perguruan tinggi top di kota Bogor, saya pun berpesan agar jangan sembarangan ikut pengajian. Lebih baik tanya saya lewat BBM atau email soal Quran dan Hadis ketimbang ikut pengajian yang aneh-aneh.
Saat ini, melepas isteri, anak atau adik pergi ke pengajian sama galaunya dengan melepas mereka ke mall atau lainnya. Kita harus tanya siapa kawannya, apa saja yang mereka lakukan, apa bahan bacaannya, siapa guru ngajinya, dan lain sebagianya. Kalau dilepas begitu saja, saat ini hampir sama bahayanya pergi ke mall atau ke pengajian.
Fenomena GAFATAR yg sedang heboh di media massa menguatkan keresahan kita melepas keluarga pergi ke pengajian. Bagaimana membedakan antara pengajian yang standar dengan yang aneh-aneh? Paling tidak dua hal ini harus jadi perhatian kita:
Pertama, biasanya pengajian non-mainstream itu TIDAK bergabung dengan ormas keislaman yang sudah mapan seperti NU, Muhammadiyah, Persis, al-Wasliyah, dll. Tapi merupakan organisasi baru. Sistem pendidikan di ormas keislaman yang disebut di atas itu sudah baku. Sementara kalau organisasi baru yg tidak berafiliasi ke salah satu ormas yg sudah lama maka kita harus berhati-hati. Harus cari info lebih dalam.
Kedua, ciri lainnya adalah biasanya Kiai atau Ustadnya TIDAK memiliki sanad keilmuan yang jelas.
Sanad keilmuan ini sangat penting. Ibarat orang sekolah harus punya ijazah sebagai tanda lulus, begitu juga orang belajar ilmu agama harus punya “ijazah” dari syekh, ulama atau kiai.
Misalnya, saya belajar dari Abah saya, yang belajar dari Kiai Abbas Buntet, yang belajar dari KH Hasyim Asy’ari, yang belajar dari Syekh Cholil Bangkalan, dst. Ini yang kita namakan sanad ilmu. Tradisi keilmuan Islam ini yang saking hebatnya sampai diadopsi oleh tradisi keilmuan barat saat ini. Yang bisa mengajar itu harus punya ijazah dan jelas lulusan dari mana. Singkatnya, dengan mengetahui guru kita belajar dari siapa dan seterusnya maka kita bisa yakin bahwa transmisi keilmuan yang ditransfer kepada kita itu terjaga dan otentik serta dapat dipertanggungjawabkan.
Kalau anda belajar agama atau ilmu lain kepada mereka yang tidak jelas sanad keilmuannya, itu sama saja kita sedang keluar masuk toko di mall atau pusat perbelanjaan. Masing-masing menawarkan produknya dg menggiurkan bahkan dg harga dibanting alias diskon.
Lebih gawat lagi kalau anda belajar agama kepada murabbi yang justru “sanad” keilmuannya itu teknik, ekonomi atau pertanian. Ibarat pergi ke mall mau belanja HP tapi anda malah mencarinya di toko mainan anak. Gak nyambung kan?
Jadi, sekarang berhati-hatilah melepas anak dan keluarga pergi ke mall dan/atau pergi mengaji. Dua-dunya harus kita cermati dan awasi. Semoga Allah menjaga keluarga kita semua. Amin
Tabik,
Nadirsyah Hosen