Salah satu bentuk kemukjizatan Al-Qur’an adalah pilihan diksinya yang bukan saja tepat dan akurat, tapi juga mengandung hikmah. Allah itu Sang Maha Halus, sekaligus Sang Maha Penyayang, maka firman-Nya pun merefleksikan asma-Nya ini. perintah puasa
Sebagai contoh, pernahkah terpikir di benak kita kenapa perintah berpuasa diberikan dalam bentuk kalimat pasif (fi’il mabni majhul), yaitu “kutiba”?
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan (KUTIBA) atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [QS al-Baqarah ayat 183)
Semua kitab tafsir, dari yang klasik semisal at-Thabari dan ar-Razi, sampai yang modern seperti al-Munir-nya Wahbah az-Zuhaili, mengatakan kutiba itu maknanya furidha (diwajibkan). Kata kerja aktifnya adalah kataba, yang menurut Ibn Qutaibah, maknanya bisa beraneka ragam di dalam Al-Qur’an. Tapi secara kebahasaan maknanya adalah menulis, maka berarti kutiba makna aslinya “dituliskan”. Dalam tafsir at-Thabari, kata dituliskan ini menjadi wajib karena maksudnya telah dituliskan di dalam kitab lauh al-mahfuz.
Baik, sekarang kita paham kenapa kata kutiba diterjemahkan menjadi diwajibkan. Tapi sekali lagi pertanyaannya mengapa perintah puasa ini diberikan dalam bentuk kalimat pasif? Kenapa tidak langsung saja “Allah telah mewajibkan kamu berpuasa”? Apa hikmahnya?
Menurut Ibn al-Jawzi, sebagian ulama telah menjelaskan, bahwa bentuk pasif kutiba itu dipilih karena biasanya berupa kewajiban yang bersifat memberatkan manusia untuk menjalani kewajiban itu. Misalnya, selain ayat puasa, redaksi kutiba ‘alaykum (diwajibkan atas kalian) itu terdapat dalam ayat qishash (Q.S al-Baqarah: 178):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”
Ayat washiyat (Q.S al-Baqarah: 180)
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.”
Dan juga ayat perang (Q.S al-Baqarah ayat 216):
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.”
Ketentuan pada ayat-ayat di atas bersifat membebani dan menyusahkan untuk menjalaninya, itu sebabnya Allah menggunakan kalimat pasif, yaitu siapa yang mewajibkan ketentuan itu tidak disebutkan. Kita tahu yang mewajibkan itu Allah, tapi karena kemahalembutan dan kemahapemurahan Allah, maka seolah Allah tidak menampilkan asma-Nya sebagai Dia yang memberi perintah langsung secara jelas dan tegas. Ada kedekatan dan sekaligus saling pengertian, bahkan penghormatan ketika kalimat pasif yang digunakan. Ini hanya bisa disadari oleh mereka yang juga lembut hatinya.
Lantas kapan Allah menggunakan diksi aktif, yaitu kataba? Kita dapati dalam QS al-An’am ayat 54:
وَإِذَا جَاءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ
“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: “Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang….”
Allah telah menetapkan kewajiban atas diri-Nya sendiri, yaitu rahmah (kasih sayang). Diksi yang dipilih adalah kataba (kalimat aktif). Kata ini justru dipakai Allah ketika menetapkan kewajiban bagi Allah, dan tidak lain kewajiban itu berupa rahmah kepada kita semua.
Kesimpulannya, untuk kewajiban yang memberatkan hambaNya, Allah menggunakan redaksi pasif “kutiba ‘alaykum” (diwajibkan atas kalian) tanpa menyebut langsung siapa pemberi perintah. Terhadap diriNya sendiri, Allah menggunakan kalimat aktif “kataba ‘ala“, dan itu pun hasilnya berupa rahmah.
Dengan demikian baik kewajiban untuk kita maupun kewajiban yang Allah tetapkan sendiri untuk diri-Nya, entah menggunakan diksi aktif atau pasif, semuanya mencerminkan kemahalembutan dan kemahapemurahan Allah SWT. perintah puasa
Subhanallah!
Ini baru penjelasan dari pilihan diksi. Belum lagi bicara substansi perintah-Nya. Semoga penjelasan ini semakin menguatkan kita bahwa dibalik kesusahpayahan kita menjalani perintah-Nya untuk berpuasa di bulan Ramadan ini, ada kemahalembutan dan kasih sayang Allah kepada kita.
Tabik,
Nadirsyah Hosen