Tahun 1987, Gus Dur bersama Mbah Liem datang ke rumah Gus Sholah. Seperti ditulis sendiri oleh Gus Sholah dalam sebuah buku, kedua tokoh besar ini lama menanti kepulangan Gus Sholah di rumahnya.
Ada apa gerangan sampai Gus Dur dan Mbah Liem rela menunggu berjam-jam? Mbah Liem dipercaya sebagai salah satu wali. Nama lengkap beliau adalah KH Muslim Rifa’i Imampuro pencetus ungkapan NKRI Harga Mati.
Keduanya ternyata hendak mengabarkan berita penting: Gus Sholah akan menggantikan pamannya KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) sebagai pengasuh Ponpes Tebuireng.
Gus Sholah tentu saja kaget mendengar isyarat langit yang disampaikan Mbah Liem. Latarbelakang Gus Sholah adalah arsitek lulusan ITB. Bukan jebolan pesantren seperti Gus Dur.
Tahun 1999, Gus Sholah mengenang kembali peristiwa unik di atas:
“Secara akal sehat saya kurang percaya apa yang dikemukakan oleh Mbah Liem. Dari mana jalannya saya akan menjadi kiai Tebuireng. Kepada Mbah Liem saya menjawab apapaun kalau memang Allah SWT menghendaki, maka apapun bisa terjadi. Saya tidak mengganggap serius perkataan Mbah Liem dan terbukti kini 12 tahun kemudian Pak Ud masih tetap menjadi Kiai Tebuireng.”
Ya, 12 tahun kemudian (1987-1999) isyarat langit itu belum terwujud. Namun siapa sangka pada tahun 2006 Pak Ud sendiri yang kemudian meminta Gus Sholah menggantikannya sebagai pengasuh Ponpes Tebuireng.
Ternyata dibutuhkan 19 tahun untuk membuktikan kebenaran isyarat langit dari Mbah Liem. Sejak 2006 sampai wafatnya Gus Sholah di awal 2020, beliau menjadi Kiai dan mengasuh ponpes Tebuireng peninggalan kakeknya Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, persis seperti isyarat langit yang disampaikan Mbah Liem.
Lahumul Fatihah…
Kita mungkin menolak sebuah ketentuanNya karena, seperti kasus Gus Sholah di atas, kita tidak merasa siap dan secara logika tidak masuk akal. Namun jikalau itu sudah menjadi keputusanNya, pada saatnya akan terjadi dengan caraNya dan dalam waktu yang dipilihkanNya. Percayalah!
Syekh Ibn Athaillah mengingatkan kita:
لاَ يَــكُنْ تَــأَخُّرُ أَ مَدِ الْعَطَاءِ مَعَ اْلإِلْـحَـاحِ فيِ الدُّعَاءِ مُوْجِـبَاً لِـيَأْسِكَ؛ فَـهُـوَ ضَمِنَ لَـكَ اْلإِجَـابَـةَ فِيمَا يَـخْتَارُهُ لَـكَ لاَ فِيمَا تَـختَارُ لِـنَفْسِكَ؛ وَفيِ الْـوَقْتِ الَّـذِيْ يُرِ يـْدُ لاَ فيِ الْـوَقْتِ الَّذِي تُرِ يدُ
Janganlah karena keterlambatan datangnya pemberian dari-Nya kepadamu, sedangkan engkau telah bersungguh-sungguh dalam berdoa, itu menyebabkan engkau berputus asa. Sebab, Tuhan pasti mengabulkan permintaanmu dengan cara yang Dia pilih, bukan dengan cara yang engkau pilih. Dia akan mengabulkan permintaan itu pada waktu yang Dia kehendaki, bukan menurut waktu yang engkau kehendaki.”
لاَ يـُشَـكِّكَــنَّكَ فيِ الْـوَعْدِ عَدَمُ وُقُــوْعِ الْـمَـوْعُـوْدِ ، وَ إِنْ تَـعَـيَّنِ زَمَنُهُ ؛ لِئَـلاَّ يـَكُوْنَ ذَ لِكَ قَدْحًـا فيِ بَـصِيْرَ تِـكَ ، وَ إِخْمَـادً ا لِـنُورِ سَرِ يـْرَ تِـكَ
“Janganlah karena tiadanya pemenuhan atas apa-apa yang dijanjikan, padahal telah jatuh waktunya, membuatmu ragu terhadap janji-Nya; agar yang demikian itu tidak menyebabkan bashirah (pancaran illahiyyah dalam hati)-mu buram dan cahaya sirr (pancaran rahasia illahiyyah)-mu padam!”
Tabik,
Nadirsyah Hosen