Bulan Desember lalu saya bertemu dengan Prof Dr H Syahrin Harahap di Sydney. Guru besar UIN Sumatera Utara itu langsung ngobrol akrab dengan saya begitu diberitahu oleh yang lain siapa Abah saya. Prof Syahrin kemudian bercerita saat mengambil kuliah pasca di IAiN Jakarta (sebelum jadi UIN). Kebetulan rumah dinas Abah saya memang persis berada di depan gedung pasca sarjana.
Prof Syahrin mengenang obrolan dengan Abah akan dua hal. Pertama, salah satu rahasia mengapa haji itu hanya wajib sekali, itu agar kita bisa belajar melaksanakan substansi ibadah haji dalam ibadah yang lainnya, saat shalat, zakat dan puasa. Maka “pergi ke tanah suci” itu adalah ibadah kita setiap saat. Hal kedua yang Prof Syahrin kenang adalah penjelasan Abah saya soal zikir. Tidak perlu dihitung, kalau caranya benar maka dalam 4 helaan nafas, jumlah zikir 33 sudah terpenuhi.
Saya kemudian menambahi bahwa saya dulu pernah membuktikan sendiri saat bertanya pada Abah benarkah klaim sebagian pihak bahwa zikir menghitung dengan tasbih itu bid’ah. Abah justru keluar dari perdebatan itu dengan menjawab: “kalau hati dan lisan saat zikir sudah nyambung, maka tak perlu dihitung sudah akan pas.” Lantas Abah meminta saya menghitung dengan tasbih sementara beliau mengucapkan Subhanallah. Dan ternyata saat beliau berhenti berzikir pas dihitungan ke-33.
Abah dikenal semasa hidupnya sebagai pembaru hukum Islam —seperti judul buku 70 tahun beliau. Fatwanya sering kontroversial dan kerap mendapat cemoohan dan cacian. Beliau sering menegaskan pada saya bahwa berbeda pendapat itu hal biasa selama ada rujukan dan mengikuti kaidah keilmuan.
Meskipun dikenal sebagai seorang ahli fiqh di publik, namun di ruang privat beliau seorang ahli zikir. Dari maghrib sampai isya tidak bergeser duduknya berzikir. Tiap malam selalu tahajud 11 rakaat dan ngaji sampai subuh.
Saya belum seujung kuku beliau. Saya belum menjadi ahli fiqh, apalagi ahli zikir. Saya masih asyik main medsos 🙏😰 Belum sanggup mengamalkan maqolah ini:
ليس الفتى من يقول كان أبى
ولكن الفتى من قال ها أنا ذا
Bukanlah pemuda (hebat) itu yang berkata: “lihat Bapakku.” Tapi yang berkata “inilah (prestasi)Ku!”
Tabik,
Nadirsyah Hosen