(Note: laporan lama dari majalah Tempo tahun 1984 mengenai perdebatan para ulama tentang kitab rujukan NU, yg berlangsung di Pesantren Asembagus, Situbondo. Al fatihah utk semua nama para masyayyikh yang disebut dalam laporan Tempo di bawah ini)
Tabik,
Nadirsyah Hosen
TEMPO Edisi. 44/XIII/31 Desember – 06 Januari 1984
Masalah identitas NU dalam paham keagamaan, dan kreteria kitab-kitab yang boleh menjadi landasan hukum bagi nahdliyyin, menjadi topik dalam munas NU di pondok pesantren salafiah syafiiyyah, situbondo. (ag)
KEMBALINYA Nahdatul Ulama ke khittah (garis perjuangan) 1926, lewat Munas Situbondo di paruh kedua Desember lalu, rupanya, tidak hanya menyangkut masalah organisasi. Tapi juga paham keagamaan yang khas bagi jemaah besar ini. Bahkan, munas ini akan keluar dari fungsinya, menurut AD/ART, bila tidak membahas persoalan agama yang praktis berwujud pembicaraan hukum. Yang khas ialah salah satu topik yang diperbincangkan kali ini menyangkut kriteria sekitar kitab-kitab mana yang boleh menjadi landasan hukum bagi para nahdliyyin, warga NU.
Ada 12 masalah yang ditampung PB Syuriah dan dikirimkan ke Munas. Dan di sana, di Asembagus, Situbondo, 68 ulama duduk bersila di masjid besar pesantren K.H. As’ad yang berukuran 40 m x 70 m itu. Kepada mereka diberikan bantal, baik untuk menjadi landasan membaca atau menulis maupun untuk bertelekan. Berderet juga di situ berbagai kitab referensi, yang dijaga santri yang bertugas melayani para kiai.
Mungkin justru karena mereka para kiai yang terpandang, di lingkungan masing-masing, dari sejumlah masalah itu akhirnya hanya lima yang sempat diselesaikan. Satu topik saja kadang memakan waktu demikian lama. Belum lagi diingat bahwa, betapa pun, kali ini ada yang lebih mendesak sebagai acara Munas, di luar soal agama, sehingga waktu memang terbatas.
Topik yang tidak tergarap itu ada yang karena didrop, ada pula yang karena mengalaml jalan buntu. Soal perbedaan hisab (perhitungan tanggal, khususnya untuk penentuan wuquf dalam upaca haji) antara Indonesia dan Arab Saudi misalnya, makan waktu lebih dari empat jam. Tak tercapai kesepakatan, dan dihentikan. Sedangkan soal operasi selaput dara, yang diduga bakalan ramai, dibatalkan beberapa saat setelah dibuka. Alasan: pemulihan selaput dara itu sebetulnya belum pernah benar-benar terjadi – baik di Indonesia maupun di luar negeri – seperti diterangkan dokter ahli yang didatangkan dari Surabaya. Usul kiai dari Nganjuk untuk membahasnya juga, dengan alasan “sudah hangat di mana-mana”, ditangkis kiai dari Ploso yang menganggap pembicaraannya “hanya membuang waktu”.
Yang lebih lancar – dan sukses – adalah pembicaraan tentang kitab rujukan hukum warga NU. Pertanyaannya: pembahasan masalah agama di lingkungan NU sering ditegaskan harus berpijak pada kitab andalan (mu’tabarah, mu’tamidah). Apa kriteria kitab andalan itu? Soalnya, salah satu keputusan hukum dalam Munas Kaliurang 1981 ternyata bersandar sepenuhnya pada kitab tafsir Quran dari Al Maraghi. Betulkah ia andalan ?
K.H. Muhammad Subadar, dari Pasuruan, menjawab, Syekh Al Maraghi itu jelas-jelas menolak tawassul. Yakni, mengambil perantaraan para wali dalam berdoa. Juga menganggap bid’ah keyakinan bahwa membaca Quran (ayat asli) mendapat pahala. Karena itu, kata kiai muda ini, “Tafsir Maraghi bukan rujukan kita.”
Seorang ulama dari Sulawesi Selatan keberatan. “Seharusnya,” katanya, “kita tidak menolak begitu saja. Dari Al Maraghi saya yakin ada yang baik, dan munkin sesuai dengan Mazhab Empat.” Mazhab Empat adalah aliran-aliran hukum Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, yang menjadi pegangan NU. “Tetapi, kalau memang sesuai dengan Mazhab Empat, mengapa tidak mengambil dari sumber mazhab itu sendiri?” tangkis K.H. Sahal Mahfuzh, ketua komisi dan rais syuriah wilayah Jawa Tengah.
Keputusan yang dirumuskan: yang layak dijadikan pegangan adalah kitab-kitab para ulama terpandang dari kalangan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah. Yang dimaksud adalah kalangan yang antara lain memegangi Mazhab Empat, termasuk NU. Adapun Al Maraghi, beliau itu berada dalam garis Muhammad ‘Abduh, yang menyatakan diri bebas dari ikatan mazhab dan menolak prinsip taqlid (mengikut), alias mencukupkan diri dengan pendapat ulama andalan tanpa (hak) mengusut lebih lanjut. Keputusan munas ini sendiri pun bukan semata pendapat para kiai itu, melainkan bersandar pada dua kitab andalan yang dibacakan di forum itu.
Itu tentunya sangat penting. Sebab dengan itu kitab-kitab seperti dari Rasyid Ridha, Syekh Mahmud Syaltut, Sayid Quthb, Sayid Sabiq, dinyatakan secara resmi tidak akan dipakai, “kecuali sebagai bandingan,” kata Kiai Sahal.
Itulah karya-karya para tokoh besar yang biasa dijadikan referensi kalangan seperti Muhammadiyah, Persis, dan mereka yang “bebas” di luar NU.
Bedanya: referensi di kalangan terakhir itu bersifat lebih longgar – sebagai jembatan untuk memahami ayat atau hadis. Setidak-tidaknya, begitulah dalam teori. Sebab, orang NU umumnya percaya, dalam praktek toh saudara-saudaranya yang non-NU itu berhenti pada pendapat-pendapat para ulama andalan mereka itu, seperti yang juga dipraktekkan NU sendiri dengan jenis kitab- kitab yang lain. Padahal seperti dikatakan Prof. K.H. Ibrahim Hosen, L.M.L., yang kebetulan ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, para ulama besar andalan non NU itu “juga memakai kitab-kitab yang lebih tua, seperti Baidhawi, Al Khazin, dan Ibnu Katsir”, yakni kitab-kitab rujukan NU. Karenanya kitab-kitab non-NU itu dianggap Kiai Ibrahim sebagai “hanya pembuka pikiran”.
Tapi bukankah penting, fungsi “pembuka pikiran” itu? Kitab-kitab yang dipersoalkan itu adalah karangan yang lebih baru – belum seabad umurnya. Dan karenanya, tidak boleh tidak, memuat penafsiran yang sudah mengangkut pengalaman sejarah yang lebih panjang. Interpretasi Syaltut, misalnya, bekas Syekh Al Azhar di Mesir, tentang pengertian kafir – yang dibatasi hanya pada mereka yang “mengakui kebenaran Islam tapi menolak”- betapa pun tidak terdapat dalam kitab-kitab terdahulu dalam kelompok Suni, lepas dari apakah kesimpulannya bisa diterima. Tidakkah pemagaran yang ditempuh Munas NU itu bisa merugikan?
“Itu biasa saja,” kata K.H.A. Hamid Wijaya, katib aam Syuriah NU, “sebuah kelompok membatasi referensinya untuk mengukuhkan keyakinannya. Kalau dibebaskan begitu saja, ia bisa kehilangan identitas.” Kiai Hamid memang sejalan dengan Prof. Ibrahim. “Hanya,” kata sang Profesor, “sebenarnya, untuk bisa menjawab tantangan zaman, kita harus lebih terbuka.” Sarjana Al Azhar ini sendiri menyetujui pengikatan diri kepada mazhab, tentu saja. Tetapi, dalam hal mazhab, ia punya pendapat yang sebenarnya menyentuh prinsip asasi NU.
Kiai Ibrahim memberi contoh Mesir. Dulu Mesir memakai Mazhab Hanafi. Tapi lalu muncul kebutuhan untuk melihat persoalan lebih jauh sehingga mereka menambah referensi, bukan dengan lektur dari tiga mazhab yang lain, melainkan seluruhnya dari 12 mazhab. Bayangkan. “Dan itu sebenarnya masih termasuk dalam lingkungan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah,” kata kiai yang oleh kiai NU lainnya sering disebut sebagai “terlalu tinggi untuk diikuti” ini. Di segi lain, “fiqh lama yang asyik kita bicarakan ini sebenarnya kadang-kadang sudah harus kita praktiskan: mana yang bisa kita bicarakan dan mana yang tidak.”
Kata-kata Ibrahim Hosen terakhir itu ia ucapkan sehubungan dengan keputusan Munas yang lain, yang tidak urung juga berhubungan dengan soal pemilihan kitab. Yakni tentang masalah penentuan awal Ramadan dan Idul fitri oleh pemerintah. Penentuan itu tidak wajib diikuti, kata komisi hukum itu, bila penentuan itu berdasarkan hisab, dan bukan rukyat (penyaksian bulan) maupun penggenapan jumlah hari-bulan menjadi 30 seperti jelas-jelas disebut dalam hadis. Hisab, demikian ditetangkan hanya bisa dipakai ahlinya sendiri, bukan oleh umum.
Yang dituju dengan keputusan itu ialah fatwa MUI tentang lebaran 1981, yang nyata-nyata berdasarkan hisab, dan ditandatangani oleh K.H. Syukri Ghozali, ketua umum, dan H.S. Prodjokusumo, sekretaris jenderal.
Dasar keputusan komisi Munas NU, yang menolak itu, ialah kitab Bughyatul Mustarsyidin, yang menukil pendapat mayoritas ulama generasi lebih awal alias jumhurus salaf. Tapi, yang menarik, fatwa MUI sebenarnya bukan tidak mencantumkan nama kitab sandaran dari kalangan NU. Yakni kitab-kitab Tuhfah dan Al Mughni. Kedua kitab ini bagaimanapun, berpihak pada hisab. Masalahnya, Munas memilih kitab pertama karena memang lebih dekat perumusannya dengan bunyi hadis. Sedangkan MUI memilih dua kitab berikutnya karena lebih dekat, agaknya, dengan kenyataan keilmuan sekitar hisab dan falak, astronomi – sedang ilmu adalah salah satu ruh ajaran agama sendiri.
Betapa pun, dari situ tiba-tiba kelihatan pluralitas. Pendapat dalam kitab-kitab andalan Ahlus Sunnah sebenarnya tak hanya satu – bahkan tak hanya dua – dan orang, sendiri atau bersama-sama, tinggal memilih berdasarkan keyakinan. Boleh diingat pula bahwa baik Ibrahim Hosen, Syukri Ghozali maupun para kiai yang ber-Munas itu, semuanya kebetulan anggota NU. Perbedaan di kalangan mereka sendiri bukan tidak mencerminkan kenyataan yang hidup di bawah: keragaman pendapat antara pesantren darl pesantren, masing-masing di bawah wibawa kiai yang “merdeka”.
Kelonggaran seperti itu bahkan tidak terdapat di kalangan Muhammadiyah, misalnya, yang majelis tarjihnya (semacam syuriah di NU) praktis lebih mengikat. Dan itulah, agaknya, sang “identitas”.