Abdullah bin Umar membaca ayat:
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kalian melahirkan apa yang ada di dalam hati kalian atau kalian menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kalian tentang perbuatan kalian itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”. (Al-Baqarah: 284)
Beliau berkata: “Jikalau Allah benar-benar akan menghukum kita berdasar ayat ini, kita benar-benar akan hancur.” Beliau mengusap air matanya. Begitulah Tafsir at-Thabari menceritakan riwayat dari Sa’id bin Marjanah.
Ada apa gerangan dengan ayat di atas? Perhatikan, ayat tersebut mengatakan Allah tahu apa yang kita sembunyikan dalam hati kita, dan Allah akan menyiksa kita akibat perbuatan hati kita itu. Masalahnya, siapa yang bisa mengontrol apa yang ada di dalam hati? Bagaimana mungkin kita dihukum atas dasar sesuatu yang tak bisa kita kontrol (kata hati kita), bukan atas dasar tindakan kita.
Tafsir Fathul Qadir karya Imam Syawkani juga mengutip riwayat dari Imam Muslim, Ahmad, dan lainnya:
وَقَدْ أَخْرَجَ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ، وَأَبُو دَاوُدَ فِي نَاسِخِهِ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِلَّهِ مَا فِي السَّماواتِ وَما فِي الْأَرْضِ وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ الْآيَةَ، اشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ جَثَوْا عَلَى الرُّكَبِ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ! كُلِّفْنَا مِنَ الْأَعْمَالِ مَا نُطِيقُ الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالْجِهَادُ وَالصَّدَقَةُ، وَقَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ هَذِهِ الْآيَةَ وَلَا نُطِيقُهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتُرِيدُونَ أَنْ تَقُولُوا كَمَا قَالَ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ مِنْ قَبْلِكُمْ: سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا، بَلْ قُولُوا: سَمِعْنا وَأَطَعْنا غُفْرانَكَ رَبَّنا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ فَلَمَّا اقْتَرَأَهَا الْقَوْمُ وَذَلَّتْ بِهَا أَلْسِنَتُهُمْ أَنْزَلَ اللَّهُ فِي أَثَرِهَا: آمَنَ الرَّسُولُ بِما أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ » الْآيَةَ، فَلَمَّا فَعَلُوا ذَلِكَ نَسَخَهَا اللَّهُ فَأَنْزَلَ: لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَها إِلَى آخِرِهَا. وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ، وَمُسْلِمٌ، وَالتِّرْمِذِيُّ، وَالنَّسَائِيُّ، وَابْنُ مَاجَهْ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَالْحَاكِمُ، وَالْبَيْهَقِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ مَرْفُوعًا نَحْوَهُ
Ketika turun ayat 284 surat al-Baqarah di atas, hal ini terasa berat oleh sahabat-sahabat Rasul Saw. Lalu mereka datang menghadap Rasulullah Saw. dan bersimpuh di atas lutut mereka seraya berkata,
“Wahai Rasulullah, kami telah dibebani amal-amal yang sudah memberatkan kami, yaitu salat, puasa, jihad, dan sedekah (zakat), sedangkan telah diturunkan kepadamu ayat ini dan kami tidak kuat menjalaninya.“
Maka Rasulullah Saw. bersabda: Apakah kalian hendak mengatakan seperti apa yang pernah dikatakan oleh kaum ahli kitab sebelum kalian, yaitu: “Kami mendengarkan dan kami durhaka? “Tidak, melainkan kalian harus mengatakan, “Kami mendengar dan kami taat, kami mengharapkan ampunan-Mu, wahai Tuhan kami, dan hanya kepada-Mulah (kami) dikembalikan.”
Setelah para Sahabat merasa tenang dengan ayat ini dan tidak mengajukan protes lagi, maka Allah menurunkan ayat berikut sesudahnya, yaitu firman-Nya:
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya,”dan mereka mengatakan, “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa), “Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (Al-Baqarah: 285)
Ketika mereka melakukan hal tersebut, lalu Allah me-nasakh (mengganti ketentuan hukum di atas) dengan firman-Nya:
‘Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (Al-Baqarah: 286), hingga akhir ayat.
Dalam Tafsir ar-Razi disebutkan nama-nama para sahabat yang menghadap Rasul dan merasa galau dengan ayat di atas, yaitu Abu Bakar, ‘Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Auf, Muaz, dan lainnya.
Namun ternyata ada versi lain untuk memahami ayat QS 2:284 itu. Tafsir at-Thabari mencantumkan riwayat lainnya bahwa yang dimaksud “menyembunyikan di dalam hati” pada ayat 284, sebenarnya berkenaan dengan ayat sebelumnya, yaitu ayat 283:
وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
‘dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah:283)
Ayat 283 ini berkenaan dengan perniagaan, dimana transaksi yang berlangsung di perjalanan tidak dicatat, tapi ada kehadiran saksi. Nah, Allah memberikan peringatan agar para saksi tidak menyembunyikan kesaksiannya. Jadi, ayat ini menurut sebagian ulama tidak berkenaan dengan dihukumnya kita atas apa yang terbersit di dalam hati —yang tidak bisa kita kontrol itu. Tapi berkenaan dengan perbuatan sengaja menyembunyikan kesaksian atas transaksi perniagaan yang terjadi.
Berarti sebenarnya tidak terjadi pergantian hukum (nasikh-mansukh) dalam ayat di atas. Demikian kesimpulan Tafsir at-Thabari.
Namun kedua kesimpulan di atas dibantah oleh Tafsir ar-Razi. Menurut Imam Fakhruddin ar-Razi, kesimpulan bahwa ayat 284 dikaitkan dengan sebelumnya ayat 283 mengenai menyembunyikan kesaksian adalah lemah. Alasannya ayat 284 itu redaksinya berbentuk umum, jadi tidak mesti dikaitkan dengan ayat sebelumnya.
Namun Imam ar-Razi juga menganggap lemah pendapat yang mengatakan penggalan ayat 284 telah dihapus (nasakh) oleh ayat 286 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. Alasannya, ayat 286 yang dianggap menasakh itu bentuknya khabar (pemberitaan), bukan berbentuk ayat hukum. Biasanya nasikh-mansukh itu berkenaan dengan perintah atau larangan.
Begitulah serunya perdebatan para ulama tafsir memahami ayat ini.
Jadi bagaimana memahaminya? Ringkasan dari Tafsir ar-Razi, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Alusi, Tafsir al-Wasith Sayyid Thantawi, dan lainnya menjelaskan sebagai berikut:
Di hari kiamat nanti Allah akan meng-hisab amalan hati yang selama ini coba kita sembunyikan seperti keraguan terhadap agama, kemunafikan, pendustaan (lain di bibir, lain di hati) dan lain sebagainya. Adapun jika seorang hamba berbicara dengan hatinya untuk melakukan kemaksiatan namun dia tidak mengerjakannya maka dia dimaafkan atas itu, dengan dalil hadist Sahih Bukhari-Muslim yang berbunyi: “bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«قَالَ اللَّهُ: إِذَا هَمَّ عَبْدِي بِسَيِّئَةٍ فَلَا تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا سَيِّئَةً، وَإِذَا هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا عَشْرًا»
Allah berfirman, “Apabila hamba-Ku berniat untuk melakukan suatu perbuatan yang buruk, maka janganlah kalian (para malaikat) mencatatkan hal itu terhadapnya; dan jika dia mengerjakannya, maka catatkanlah hal itu sebagai satu keburukan. Apabila dia berniat hendak mengerjakan suatu kebaikan dan ia tidak mengerjakannya, maka catatkanlah hal itu sebagai satu kebaikan; dan jika dia mengerjakannya, maka catatkanlah hal itu pahala sepuluh kebaikan.”
Wa Allahu A’lam bish-Shawab
Tabik,
Nadirsyah Hosen