Nadirsyah Hosen
Monash University
Salah satu problematika pemerintahan Orde Baru adalah menekankan pengajaran tentang Pancasila lewat doktrinasi. Pancasila menjadi ideologi tertutup yang butir dan nilai serta implementasinya semata-mata diserahkan pada tafsir tunggal Soeharto—itu pun dilakukan dengan tangan besi.
Pelajaran penting dari periode itu adalah, sekarang Pancasila harus menjadi nilai-nilai yang hidup di masyarakat dengan pendekatan dialogis dan interaktif. Pendekatan ala tangan besi, diganti dengan tangan-tangan yang merangkul, bukan memukul, sesama anak bangsa.
Jika setiap sila dilepaskan sendiri-sendiri, banyak bangsa lain yang memiliki makna dan arti sila dalam Pancasila. Namun, ketika sila-sila tersebut digabung menjadi satu-kesatuan dengan urutan yang sistematis, bangsa Indonesia wajib berbangga, dengan rasa syukur, bahwa para pendiri bangsa telah meninggalkan kearifan yang luar biasa.
Lebih dari sekadar hafalan, yang diganjar hadiah sepeda, atau lebih dari semata-mata dibacakan setiap upacara dengan sikap tegak-sempurna, kelima sila Pancasila bias dibaca dalam satu rangkaian kesatuan:
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dijalankan melalui Kemanusian Yang Adil dan Beradab, sehingga terwujud Persatuan Indonesia, di mana segala problematika dan dinamika anak bangsa sebagai Kerakyatan Yang dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, untuk melahirkan program kerja yang konkret guna menjamin Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Satu kesatuan dan saling keterikatan kelima sila membawa kita pada kemustahilan ada pelaksanaan ajaran agama yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, namun dilaksanakan dengan ketidakadilan dan kebiadaban.
Tidak bisa kita melaksanakan sila pertama dan kedua, kalau ujungnya hanya akan memecah belah anak bangsa, bukan malah menyatukannya, seperti dikehendaki sila ketiga. Tidak mungkin pula nilai-nila yang menyatukan anak bangsa dari Sabang sampai Merauke diwujudkan dengan cara-cara yang melanggar hikmah kebijaksanaan jati diri bangsa, dan dipaksakan tanpa melalui musyawarah yang diwakili pemimpin yang dilahirkan lewat pemilihan umum yang sah.
Bahkan secara singkat, aplikasi Ketuhanan Yang Maha Esa harus mengerucut pada Keadilan Sosial, bukan untuk golongan tertentu, melainkan untuk Seluruh Rakyat Indonesia.
Membaca ulang kelima sila Pancasila dalam satu tarikan nafas membuat kita merinding. Kearifan Ir. Soekarno, bersama pendiri bangsa lainnya, mampu mengumpulkan keping sejarah dan filosofi anak bangsa dalam satu rangkaian indah yang diproyeksikan bersama menjadi ideologi bangsa. Pilihan diksi kelima sila itu juga luar biasa.
Ambil contoh kata adil dalam sila kedua dan kelima. Pada sila kedua, kata adil disambungkan dengan kata beradab. Ini menunjukkan bahwa adil saja tidak cukup. Sama rata saja tidak cukup untuk bangsa kita. Kita juga harus mewujudkan adil dalam konteks kebudayaan. Sama rata tidaklah otomatis menjadi adil, bila tidak disambung dengan sama rasa.
Adil dan Beradab. Keduanya adalah satu kesatuan. Tidak bisa kita beradab, tanpa adil. Tidak cukup adil, tanpa beradab. Ini artinya, Pancasila dengan tegas menolak kezaliman dan kebiadaban.
Pada sila kelima, kata adil disambungkan dengan kata sosial. Saya harus berhenti sejenak menghela nafas panjang. Saya tidak bisa menutupi kekaguman saya akan pilihan diksi ini: Keadilan Sosial. Pendiri bangsa dengan sadar memilih frase ini untuk memproyeksikan cita-cita bersama seluruh anak bangsa, tanpa membedakan golongannya.
Keadilan yang tidak hanya dituntut oleh individu. Ini bukan Keadilan yang justru memecah belah anak bangsa, di mana ketimpangan sosial terjadi dan potesi kerusuhan begitu nyata. Yang kaya makin kaya, yang miskin bertambah miskin.
Kalau pada sila kedua kata adil mengandung nilai budaya (beradab), maka pada sila kelima, kata adil yang disambung dengan kata sosial mengandung nilai-nilai ekonomi kerakyatan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Jikalau sila kedua dan sila kelima kita baca dalam satu rangkaian, kita akan memahami bahwa apa guna sama-rata kalau tidak sama-rasa, apa guna sama-rasa kalau nasib anak bangsa sama-saja dari tahun ke tahun ditindas oleh ketidakadilan sosial.
Sila keempat juga erat kaitannya dengan sila pertama. Bahkan secara mengejutkan sejumlah kata kunci dalam sila keempat ternyata diambil dari kepingan tradisi keagamaan. Kerakyatan, Hikmah, Permusyawaratan dan Perwakilan semuanya merujuk pada kosakata dan filosofi keagamaan.
Itulah sebabnya, meski negara kita bukan negara keagamaan atau teokratis, tetapi kita juga menolak sekularisme. Tradisi ra’iyah diadopsi menjadi rakyat. Lantas dicantumkan istilah hikmah, tapi juga disebutkan terjemahannya, yaitu kebijaksanaan. Permusyawaratan diambil dari kata musyawarah, sedangkan Perwakilan diambil dari kata wakil.
Ini artinya, menurut sila keempat, para wakil rakyat diminta untuk memimpin rakyat dengan kebijaksanaan melalui mekanisme musyawarah. Coba kembali dibaca pelan-pelan, apa Anda tidak merinding dengan sila keempat ini?
Sila keempat ini tidak bicara penguasa. Bahkan istilah penguasa, apakah namanya Presiden atau yang lain, tidak disebutkan dalam sila keempat.
Fokusnya pada kerakyatan. Rakyat Indonesia rela dipimpin siapa pun selama dilakukan dengan hikmah melalui musyawarah. Saya sampai guyon dengan para santri, “Saat para tokoh bangsa merumuskan sila keempat ini, entah Malaikat mana yang sedang lewat dan menitipkan kata-kata yang luar biasa ini!”
Bukan pula kebetulan jikalau Persatuan Indonesia diletakkan di tengah-tengah Pancasila, yaitu sila ketiga. Bukan pula hanya pemanis kata bahwa sila ketiga yang begitu penting ini ternyata kalimatnya yang paling singkat dibanding sila-sila lainnya. Pesan ini begitu singkat dan diletakkan pada sentral kelima sila.
Membaca ulang sila ketiga ini seolah tengah menampar para akademisi yang mengatakan bahwa secara teori politik tidak mungkin ribuan pulau yang dihuni ratusan etnik dan juga keragaman beragama mampu dirukunkan dan dipersatukan dalam sebuah negara bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tengoklah sejarah Eropa, China bahkan Arab. Persatuan antara mereka dilakukan lewat peperangan yang berdarah-darah, dan hasilnya sampai sekarang pun mereka masih belum bisa bersatu di masing-masing kawasan itu.
Lantas, kenapa saya memilih merayakan Maulid Nabi di bulan Rabiul Awal ini dengan membaca ulang Pancasila? Karena saya teringat pesan Nabi Muhammad Saw. yang sangat sesuai dengan pembacaan ulang Pancasila di atas.
Rasulullah Saw. bersabda: “Sembahlah Tuhan Yang Pengasih, sebarkanlah perdamaian, dan berilah makan, niscaya engkau masuk surga.” (HR Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban)
Selamat merayakan Maulid Nabi!