You are here:

Kata ‘yang Diselipkan’ dalam Memahami Ayat Al-Qur’an

Al-Qur’an turun dalam bentuk prosa, bukan dengan bahasa Undang-Undang. Layaknya sebuah prosa kalimatnya terkadang menghilangkan sejumlah kata, yang tidak mungkin kita untuk pahami secara harfiah atau apa adanya. Bahkan akan keliru kita memahami kalimat yang mengandung sastra dengan pemahaman literal atau apa adanya. Keindahan kata harus dibarengi dengan keindahan imajinasi.

Misalnya kalimat: anta syamsun. Engkaulah mentari. Kalimat ini tidak bisa dipahami bahwa kita sedang menganggap mitra bicara sebagai matahari dalam arti planet yang menerangi galaksi bima sakti. Maka perlu diselipkan kata lain dalam imajinasi kita untuk memahaminya. Misalnya dengan menyelipkan kata “bagai” dan “hatiku” sehingga kalimat “Engkau Mentari” kita imajinasikan dengan makna “Engkau Bagai Mentari Hatiku”.

Saya ingin memberi beberapa contoh ayat dalam al-Qur’an yang tidak bisa dipahami hanya lewat terjemahan per kata atau terjemahan harfiah semata. Kita butuh penjelasan para ulama untuk memahami maknanya.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa Min ‘Ilm al-Ushul (3/404) menjelaskan mengenai QS an-Nisa:23 “Diharamkan atas kamu ibu-ibumu”. Jika kita hanya melihat terjemahan secara harfiah saja kita akan gagal paham akan penggalan ayat ini. Maka cara memahaminya harus ada kata yang kita selipkan yaitu al-wath’u (bersetubuh). Jadi bukan ibu kita yang haram, tapi haram di sini artinya menyetubuhinya yang dilarang. Ayat ini tidak menyebutkan kata bersetubuh, tapi kita memahaminya demikian karena hukum itu terkait dengan perbuatan mukallaf bukan dengan benda. Ini yang dinamakan ahli ushul al-fiqh dengan istilah dalalah iqtidha’.

{ حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ } فَإِنَّهُ يَقْتَضِي إضْمَارَ الْوَطْءِ أَيْ : حُرِّمَ عَلَيْكُمْ وَطْءُ أُمَّهَاتِكُمْ ; ; لِأَنَّ الْأُمَّهَاتِ عِبَارَةٌ عَنْ الْأَعْيَانِ ، وَالْأَحْكَامُ لَا تَتَعَلَّقُ بِالْأَعْيَانِ بَلْ لَا يُعْقَلُ تَعَلُّقُهَا إلَّا بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِينَ

Contoh lain QS al-Baqarah:184

‎فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.

Dalam memahami ayat di atas, para ulama mengatakan seolah harus ada dalam imajinasi kita selipan kata “Fa afthara” sebelum kata “Fa’iddah”, sehingga dipahami makna ayat itu dengan “…(lalu ia berbuka)…” Itu artinya kewajiban meng-qadha puasa bagi musafir itu kalau ia berbuka alias membatalkan puasanya. Kalau ia tidak membatalkan maka tidak perlu meng-qadha. Tanpa selipan kata yang tak ada dalam teks asli itu makna ayat di atas sukar dipahami. Kitab fiqh semisal Hasyiah Bujairimi ‘alal Khatib (2/104), misalnya, menjelaskan demikian. Begitu juga kitab Tafsir semisal Tafsir al-Baghawi.

Imam Syafi’i menyebutkan contoh lain dalam kitab ar-Risalah saat menjelaskan soal bayan. Dalam terjemahan harfiah QS al-A’raf ayat 163:

‎وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ

Dan tanyakanlah tentang qaryah (kampung) yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu…”

Imam Syafi’i menjelaskan bahwa tidak mungkin kita bertanya kepada kampung (qaryah). Kampung juga tidak mungkin melanggar aturan pada hari Sabtu. Maka kita harus membaca ayat itu dengan membuat imajinasi adanya selipan kata “ahl al-qaryah”, yaitu penduduk kampung. Jadi kita diminta bertanya kepada penduduk kampung, bukan kepada kampungnya.

‎فابتدأ – جل ثناؤه – ذِكرَ الأمر بمسألتهم عن القرية الحاضرة البحر، فلما قال: ” إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْت “الآية، دل على أنه إنما أراد أهلَ القرية؛ لأن القرية لا تكون عادِيَةً، ولا فاسقة بالعدوان في السبت ولا غيره، وأنه إنما أراد بالعدوان أهل القرية الذين بَلاَهم بما كانوا يفسقون.

Kalau kita buka kitab tafsir akan dijelaskan lagi oleh para ahli tafsir bahwa ahl al-qaryah di sini konteksnya adalah Bani Israil. Ini seperti yang dijelaskan oleh Tafsir al- Maraghi (9/93):

‎والمعنى- واسأل بنى إسرائيل عن أهل المدينة التي كانت قريبة من البحر راكبة على شاطئه (إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ) أي اسألهم عن حالهم حين كانوا يعتدون فى السبت ويجاوزون حكم الله بالصيد فيه وقد نهوا عنه.

Dari penjelasan di atas kita sekarang memahami bahwa tidak bisa kita paham kandungan makna al-Qur’an dengan hanya mengandalkan terjemahan per kata atau terjemahan dari aspek bahasa semata. Kita memerlukan alat bantu, yang sudah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab karya mereka. Melihat hanya arti harfiah saja bisa membuat kita salah paham.

Tabik,

Nadirsyah Hosen