You are here:

Kisah Kiai Tua dan Kiai Muda (5): Binatang Buas

Kali ini Kiai Tua dan Kiai Muda berjalan menuju masjid untuk tarawih bersama penduduk kampung yang kebetulan mereka lewati dalam perjalanan mereka. Sambil berjalan, Kiai Tua bercerita: ‘Dulu aku ngaji kitab ihya dan merasa sudah paham ketika Imam al-Ghazali membagi tingkatan puasa ke dalam 3 tingkat. Ternyata hingga kini aku masih berusaha memahaminya.”

Kiai Muda menyimak penjelasan Kiai Tua yang nadanya datar namun seringkali berbelok menohok di ujung penjelasannya —persis emak-emak yang kasih sen kiri, tapi malah membelokkan motornya ke arah kanan.

Kiai Tua melanjutkan: “Tingkatan puasa awam, puasa orang khawas, dan puasa orang yang khawasul khawas. Kalau yang awam itu cuma puasa menahan lapar dan dahaga saja. Kayak kamu kali yah?” Sergah Kiai Tua kepada Kiai Muda.

“Duh, mulai deh nih,” kata Kiai Muda membatin dalam hatinya.

“Hahahaha, jangan tersinggung dulu,” Kiai Tua tertawa kecil menahan geli melihat perubahan wajah Kiai Muda.

“Aku cuma mau ingetin kamu aja. Kalau kamu kuat puasa menahan lapar dan dahaga, tahukah kamu kalau unta itu lebih kuat lagi gak makan dan gak minum berbulan-bulan di padang pasir sambil mengangkat beban berat. Jadi jangan bangga kalau puasamu itu cuma menahan lapar dan dahaga saja. Unta juga bisa, malah lebih hebat lagi!”

Kiai Muda semakin merah mukanya.

“Masak kamu mau disamakan dengan unta.”

“Ah Pak Yai ini ada-ada saja. Saya manusia kok disamakan dengan unta.”

“Lho, kamu gak paham bahwa banyak manusia yang seperti binatang, nanti aku tunjukkan.”

Kiai Muda garuk-garuk kepala. “Terus puasa yang orang khawasul khawas itu kayak apa sih?”

“Puasa yang mempuasakan panca inderanya. Ini puasa yang membawa kita kepada takwa, bukan sekedar jadi unta,” jawab Kiai Tua sambil melangkah mengarah ke tempat air wudhu di samping masjid.

Kiai Muda membatin, “Duh, balik ke unta lagi!”

Di dalam masjid, selepas shalat Isya dan Tarawih, kedua Kiai ini duduk mendengarkan taushiyah. Kiai Muda berbisik: “Kalau sudah bisa puasa yang mempuasakan seluruh panca indera, apa yang Pak Yai lihat? Apa Pak Yai?”

Kiai Tua menjawab pelan, “Saya bisa melihat unta dimana-mana.”

Kiai Muda geleng-geleng kepala. “Ini orang tua sibuk bermain kata-kata saja dari tadi, lagi jatuh cinta sama unta kayaknya nih,” sekali lagi ia membatin.

Tiba-tiba Kiai Tua usapkan tangannya ke wajah Kiai Muda. Dalam hitungan detik, tubuh Kiai Muda bergetar dan keringat menetes, lantas matanya melihat sekeliling. Yang ia lihat jamaah masjid berubah menjadi sejumlah unta, ular, tikus, bahkan ketika ia melihat ke mimbar masjid, yang ia lihat bukan lagi penceramah tapi monyet.

Belum sepenuhnya sadar apa yang tengah terjadi, sekali lagi Kiai Tua usapkan tangannya ke muka Kiai Muda, dan penglihatan Kiai Muda kembali menjadi normal. Tak ada binatang apapun di masjid. Semuanya kembali terlihat normal.

“Pak Yai, apa yang terjadi?”

“Psst! Sudah diam, kita dengarkan taushiyah sampai selesai.”

**

Selesai ibadah di masjid, jamaah masing-masing bubar. Yang tersisa hanya Kiai Tua dan Kiai Muda. Mereka i’tikaf.

“Bagaimana? Sudah melihat unta? Bahkan kamu lihat binatang lainnya kan?”

“Iya, Pak Yai.”

“Kamu mau melihat lagi?”

“Mau, Pak Yai. Saya belum paham tadi. Tapi jamaah sudah bubar, tinggal kita berdua di sini. Apa masih ada unta di sini?” Jawab Kiai Muda sambil senyum.

“Buka bajumu, dan ambil sikap semadi. Ingat, semadi itu dari ash-Shamad. Allahu ash-Shamad. Allah tempat meminta. Heninglah, dan pegang ini spidol warna merah dan hitam. Setiap melihat binatang, kamu coret binatang itu dengan spidol yang ada di kedua tanganmu ini.”

Kiai Muda mematuhi dan duduk bersila sambil berkonsentrasi. Sekali lagi, Kiai Tua mengusap muka Kiai Muda. Terjadilah kembali hal yang aneh; tubuh yang bergetar dan udara seolah sangat panas menyengat, hingga keringat menetes di kening Kiai Muda.

Tiba-tiba Kiai Muda melihat Srigala, Ular Kobra, bahkan Harimau, dan berbagai binatang buas lainnya berkeliling disekitarnya. Sesuai pesan Pak Yai, sedapat mungkin ia gunakan spidol menandai anggota tubuh binatang buas itu.

Kiai Tua mengusap wajah Kiai Muda sekali lagi. Maka situasi kembali normal.

“Apa yang kamu lihat?”

“Pak Yai, saya melihat banyak sekali binatang buas di sini. Padahal tidak ada jamaah, cuma kita berdua di sini.”

“Sudah kamu tandai dengan spidol?”

“Sudah Pak Yai.”

Kiai Tua lantas menjelaskan, “Kalau tadi sebelumnya kamu lihat jamaah masjid yang berubah menjadi binatang, itu karena aku tunjukkan padamu bagaimana nafsu kebinatangan mereka tidak hilang di bulan puasa, bahkan mereka bawa sampai ke masjid.”

Kiai Muda mengangguk-angguk.

“Kalau binatang buas yang tadi saya lihat?” tanya Kiai Muda.

“Itu justru nafsu binatang buas dari tubuhmu sendiri yang kamu lihat!”

“Hah? Kok bisa gitu?” Kiai Muda terlonjak kaget.

“Lihat ke cermin, wajah dan tubuh serta tangan dan kakimu penuh dengan coretan spidol. Yang tadi kau tandai itu adalah binatang buas dalam dirimu sendiri.”

Baru sadarlah Kiai Muda melihat tangan dan tubuhnya yang penuh coretan spidol.

“Puasa kok bawa binatang buas kemana-mana. Puasamu masih puasa awam!” Ujar Kiai Tua sambil tersenyum lembut.

Kiai Muda tak sanggup menahan air matanya dan tubuhnya bersujud, terdengar suaranya tercekat, “Ampuni hamba, Ya Allah…..ampuni hamba yang masih belum sanggup mempuasakan nafsu diri hamba.”

Tabik,

Nadirsyah Hosen
(Hanya cintaMu yang sanggup menjinakkan kebuasan nafsu binatang di diri kami)