Nadirsyah Hosen
Politik dinasti dalam sejarah Islam dimulai setelah berakhirnya era khilafah, yaitu 30 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad. Sejak mundurnya Sayyidina Hasan sebagai khalifah kelima, maka tidak ada lagi khilafah, yang tersisa hanyalah kerajaan. Ini artinya mengangkat seorang menjadi pemimpin bukan berdasarkan kapasitas dan kapabilitasnya, melainkan semata melalui jalur nasab. Demokrasi hadir mengoreksi kesalahan sejarah tersebut. Bagaimana kesalahan itu dimulai?
Abul A’la al-Maududi menulis buku al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan). Dengan berani dan apa adanya, ulama Pakistan ini menganggap khilafah telah berakhir dengan naiknya Mu’awiyah menggantikan Sayyidina Hasan. Selanjutnya yang ada kerajaan, bukan lagi khilafah. Ini untuk menggambarkan bagaimana teladan al-Khulafa al-Rasyidun telah ditinggalkan. Istilahnya saja khilafah, namun pada hakikatnya telah berubah menjadi kerajaan.
Maududi mengutip riwayat ketika Sa’ad bin Abi Waqqash menyalami Mu’awiyah setelah ia dibai’at menjadi khalifah dengan ucapan: “Assalamu ’alaikum, wahai Raja.” Mu’awiyah berkata: “Apa salahnya sekiranya Anda berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin?’ “Sa’ad menjawab: “Demi Allah, aku sungguh tidak ingin memperoleh jabatan itu dengan cara yang telah menyebabkan Anda memperolehnya.” Bahkan Mu’awiyah sendiri mengerti hakikat ini sehingga pada suatu hari ia berkata: “Aku adalah raja pertama.” Demikian Maududi berkisah.
Ibn Khaldun dalam kitabnya, al-Muqaddimah, juga menyoroti perubahan dari khilafah menjadi kerajaan. Hingga taka da yang tersisa kecuali namanya belaka, sehingga, menurut ulama besar ini, sifat pemerintahan telah menjadi kekuasaan duniawi semata. Khalifah hanya menjadi simbol belaka.
Selengkapnya tulisan saya di atas bisa dibaca di sini:http://geotimes.co.id/demokrasi-mengembalikan-politik-isla…/