Tulisan saya mengenang KH Ahmad Hasyim Muzadi di halaman depan koran Media Indonesia hari ini (17 Maret 2017).
Salam penuh duka,
Nadirsyah Hosen
==================
Islam Moderat dan Nasionalis
ADA dua nama Hasyim yang melegenda di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Yang pertama, tentu saja, sang pendiri dan Rais Akbar Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. Yang kedua ialah KH Ahmad Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dua periode (1999-2010).
Kiai Hasyim Muzadi baru saja wafat dan kepergiannya merupakan kehilangan besar, bukan saja untuk umat Islam di Indonesia, melainkan juga di dunia.
Hasyim Muzadi secara luas dikenal sebagai pejuang Islam moderat berdasarkan akidah <>ahlus sunnah wal jama’ah, meneruskan tradisi Islam yang rahmatan lil ‘alamin yang dibawa Wali Songo dan kemudian dilembagakan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dalam wadah jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Dalam berbagai perbincangan bersama beliau, Kiai Hasyim Muzadi, yang memulai kariernya di NU dari tingkat ranting hingga akhirnya mencapai posisi puncak, berulang kali beliau menegaskan keyakinannya bahwa Islam di Indonesia harus menjadi contoh dari Islam yang moderat dan juga nasionalis.
Pandangan keagamaan beliau terwujud dalam sikap beliau yang kalem, akrab, dan humoris. Serasa tidak ada jarak berbicara dengan beliau. Relasinya luas. Beliau merangkul semua pihak, mulai pendeta sampai Rizieq Shihab.
Namun, beliau juga bersikap kritis terhadap ideologi yang beliau rasa tidak cocok diterapkan di Indonesia. Sejak sepuluh tahun lalu beliau mengingatkan bahaya Islam transnasional. Yang dimaksud ialah paham atau gerakan Islam yang diimpor dari luar, dan sejatinya tidak mengakar dengan budaya Indonesia.
Gerakan ekstremis dan liberalis dikritik habis. Islam moderat harus berdiri di tengah. Beliau tidak ingin Islam di Indonesia ditarik ke baik poros Saudi maupun poros Iran.
Peringatan beliau tentang bahaya Islam transnasional itu jauh sebelum munculnya IS, maupun konflik di Suriah, Tunisia, Yaman, dan Libia. Peringatan beliau menjadi kenyataan.
Bagi Kiai Hasyim Muzadi, karakter Islam di Indonesia itu selain moderat juga nasionalis. Beliau menentang keras gerakan yang hendak mengusung khilafah sebagai pihak yang tidak mengakui dan mengapresiasi perjuangan para ulama dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan bangsa.
Gerakan Islam di Tanah Air yang berpusat pada Ikhwanul Muslimin di Mesir juga tidak lepas dari kritikan beliau. Kiai Hasyim mengingatkan bahwa semua gerakan Islam Transnasional tidak cocok dengan karakter budaya Indonesia.
Ketika di Muktamar NU Jombang pada 2015 banyak yang menuduh beliau berambisi menjadi Rais Am PBNU. Beliau menyampaikan kepada saya bahwa saat ini ideologi Ahlus-Sunnah wal Jama’ah NU sedang diobrak-abrik oleh pihak luar. Beliau siap pasang badan menjaga NU.
Jadi bukannya beliau berambisi memimpin NU, melainkan beliau membaca gerakan transnasional ekstremis dan liberalis sedang menggerogoti NU. Bahkan beliau berkata, “Siapa saja saya dukung asalkan mau menjaga ideologi NU dari pihak luar!”
Itulah sebabnya beliau sering mengkritik kalangan tertentu yang paham kitab kuning, tetapi tidak paham geopolitik. Beliau tidak ingin NU lugu dan polos menghadapi berbagai pertarungan ideologi. Apalagi, warga NU itu berada di perdesaan dan tidak akan sanggup bersaing dengan ideologi pasar bebas.
Keadilan sosial
Pemahaman kitab kuning saja tidak lagi cukup. Santri harus melek persoalan keadilan sosial. Misalnya, beliau menyoroti pihak tertentu yang menguasai 80% ekonomi nasional.
Islam moderat dan Islam nasionalis yang dipadukan Kiai Hasyim diarahkan untuk dapat memberdayakan umat. Pada titik ini beliau mengkritik sebagian kalangan yang asyik bicara soal pemikiran Islam, tetapi melupakan kondisi umat yang timpang dan tertinggal secara ekonomi, sosial, dan politik.
Islam di Indonesia yang dideskripsikan sebagai Islam moderat dan nasionalis diyakini Kiai Hasyim dapat menjadi contoh untuk dunia Islam.
Beliau menjalin hubungan baik dengan Grand Syekh al-Azhar Kairo, Mufti, di berbagai negara Timur Tengah hingga Dr Abdullah Badawi, mantan Perdana Menteri Malaysia.
Dalam kapasitas beliau sebagai Sekretaris Jenderal ICIS (International Conference of Islamic Scholars), Kiai Hasyim aktif tampil di forum internasional untuk mempromosikan perdamaian dunia sekaligus menjadikan Islam di Indonesia sebagai model Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Terakhir dalam pertemuan di Sydney dan Melbourne pada akhir tahun lalu, Kiai Hasyim dengan semangat hendak menyelenggarakan pertemuan ulama internasional di Australia.
Ini luar biasa. Gagasan beliau itu didiskusikan bersama Syekh Salim Alwan dari Darul Fatwa Australia dan saya. Sayang sekali beliau sudah keburu berpulang ke rahmatullah. Semoga gagasan beliau tetap bisa diwujudkan.
Selamat jalan Pak Kiai.