Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menuliskan kutipan di bawah ini:
[aswaja_arabic display=”inline”]قال الصيمري: إذا رأى المفتي المصلحة أن يفتي العامي بما فيه تغليظ وتشديد وهو مما لا يعتقد ظاهره وله فيه تأويل جاز ذلك؛ زجرا وتهديدا في مواضع الحاجة حيث لا يترتب عليه مفسدة، كما روي عن ابن عباس -رضي الله عنهما- أنه سأله رجل عن توبة القاتل فقال: لا توبة له، وسأله رجل آخر فقال: له توبة، ثم قال: أما الأول فرأيت في عينيه إرادة القتل فمنعته، وأما الثاني فجاء مستكينا قد قتل فلم أقنطه.[/aswaja_arabic]
Kalau saya narasikan dalam bentuk cerita akan seperti ini:
Lelaki itu menerobos masuk ke Masjid, di tangannya ada sebilah pedang. Di depan jamaah yang mengelilingi Ibn Abbas, lelaki itu bertanya: “Apakah Allah menerima tobat mereka yang membunuh orang lain?” Ibn Abbas menjawab dengan tenang: “Tentu saja, bukankah Allah itu Maha Pengampun?! Lelaki itu segera berlalu.
Dua jam kemudian lelaki lain tiba-tiba memasuki Masjid. Ada pedang di tangan kanannya. Tanpa mempedulikan jamaah yang ketakutan, lelaki itu bertanya kepada Ibn Abbas, “Apakah Allah menerima tobat mereka yang membunuh orang lain?” Ibn Abbas dengan tegas menjawab: “Tidak! Allah akan mengazab mereka yang membunuh jiwa tak berdosa!” Lelaki itu segera berlalu dari Masjid.
Jamaah terpana dengan dua jawaban berbeda dari Ibn Abbas. “Mengapa anda memberikan fatwa yang berbeda pada pertanyaan yang sama? Apa dalilnya Ya Syekh?” tanya seorang murid.
Ibn Abbas menjawab: “lihat saja sorot mata kedua lelaki tersebut. Yang pertama, sorot matanya penuh penyesalan. Boleh jadi dia baru saja membunuh orang, dia ingin tahu apakah Allah akan menerima tobatnya setelah apa yang dia lakukan. Tentu saja aku sampaikan padanya bahwa ampunan Allah itu sangat luas. Adapun lelaki kedua sorot matanya penuh amarah. Dengan bertanya padaku boleh jadi dia punya rencana untuk membunuh orang lain. Sebelum peristiwa itu terjadi, aku harus memberikan fatwa yang bisa menghalangi rencana jahatnya.”
Begitulah hebatnya seorang Mufti. Dia harus tahu kapan bersikap lunak dan kapan tegas. Itu semua membutuhkan bukan saja pengetahuan akan ilmu keislaman tapi juga bacaan akan kondisi psikologis penanya, konteks sosiologis umat, dan hal-hal terkait lainnya.
Anda ingin fatwa yang halal atau fatwa yang haram? Fuqaha akan memberikan jawabannya, bukan semata-mata berdasarkan dalil, tapi juga sesuai dengan situasi dan kondisi. Komitmen mereka bukan pada konsistensi, tapi pada kebenaran –yang seringkali situasional, kondisional dan tergantung kasus serta urgensinya. Jawaban mereka yang anda anggap berbeda itu sebenarnya bisa dikembalikan kepada maqashid al-syari’ah.
Kisah Ibn Abbas di atas juga diceritakan oleh Imam al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya:
[aswaja_arabic display=”inline”]أخبرنا أبو مالك الأشجعي عن سعد بن عبيدة قال : جاء رجل إلى ابن عباس فقال ألمن قتل مؤمنا متعمدا توبة ؟ قال : لا ، إلا النار ؛ قال : فلما ذهب قال له جلساؤه : أهكذا كنت تفتينا ؟ كنت تفتينا أن لمن قتل توبة مقبولة ؛ قال : إني لأحسبه رجلا مغضبا يريد أن يقتل مؤمنا . قال : فبعثوا في إثره فوجدوه كذلك . وهذا مذهب أهل السنة وهو الصحيح[/aswaja_arabic]
Bukan saja Imam Qurtubi mencantumkan sanad kisah Ibn Abbas di atas, tapi beliau juga memberi komentar: “inilah mazhab ahlus sunnah dan ini shahih!”
Imam Nawawi menuliskan satu kutipan penting lagi di bawah ini dalam kitab al-Majmu’
[aswaja_arabic display=”inline”]قال : وذكر صاحب الحاوي أن المفتي إذا نابذ في فتواه شخصا معينا صار خصما حكما معاندا ، فترد فتواه على من عاداه كما ترد شهادته عليه [/aswaja_arabic]
“[Ibn Shalah] berkata bahwa pengarang kitab al-Hawi telah mengingatkan jika seorang mufti menunjukkan kebenciannya kepada seseorang maka fatwanya ditolak terhadap orang itu, begitu juga kesaksiannya tentangnya.”
Di sinilah pentingnya mufti memandang umat dengan pandangan cinta, bukan pandangan kebencian. Fatwa yang berpotensi menimbulkan kemudaratan harus dikalkulasi ulang karena setiap fatwa akan ada konsekuensinya. Apalagi fatwa yang dikeluarkan berdasarkan sentimen kebencian dan tanpa proses tabayyun.
Ibn Abbas mengajarkan para ulama untuk melihat sorot mata orang yang meminta fatwa. Ibn Shalah mengingatkan para ulama untuk tidak memandang orang dengan kebencian karena nanti fatwanya pun bernuansa kebencian.
Kebenaran itu berlapis-lapis seperti yang Allah ceritakan dalam kisah Nabi Khidr dan Nabi Musa. Anda boleh memilih menjadi Nabi Khidr atau Nabi Musa, tidak mengapa, asalkan anda jangan memilih menjadi Fir’aun yang selalu merasa benar; tidak pernah merasa salah. Percayalah, sorot mata Khidr, Musa dan Fir’aun itu berbeda kok 🙂
Salam sejahtera dengan penuh kasih sayang,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School