You are here:

Santri Goes International

Bisakah santri sekarang mengikuti jejak para ulama kita mengajar dan mempublikasikan karyanya di level internasional? Ulama tempo doeloe itu luar biasa hebatnya, mereka bukan hanya sekedar belajar tapi juga mengajar di Masjidil Haram. Kiai Nawawi al-Bantani, Syekh Yasin Padangi, atau bahkan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari juga mengajar di Masjidil Haram di masanya, yang menunjukan kedalaman pengetahuan dan kesalehannya. Selama mengajar di Masjidil Haram, Kiai Hasyim mempunyai sejumlah murid internasional, antara lain Syaikh Sa’dullah al-Maimani (mufti India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadis di Mekkah), dan al-Syihab Ahmad bin Abdullah (Suriah). Kitab karya Kiai Ihsan Jampes dibaca dan dipelajari sampai ke Afrika, menembus batas-batas benua.

Bagaimana dengan para santri sekarang? Cukupkah berbangga pernah menyantri sekan tahun di pondok, atau berbangga hafal 1000 bait Alfiyah, juga hafal sejumlah kitab? Dengan kata lain, cukupkah kita menjadi konsumen semata dan tidak bergeser menjadi produsen ilmu? Dengan kata lain, ulama Indonesia harus lebih sering lagi menulis kitab dalam bahasa Arab dan/atau Bahasa Inggris agar buah pikiran santri nusantara juga dibaca dan dikaji oleh muslim di belahan dunia lainnya. Dengan menelorkan karya yang tidak hanya berupa pengulangan dari hafalan yang ada kita akan turut mewarnai sejarah pemikiran Islam di level internasional.

Bisakah? insya Allah bisa. Kiai Afifuddin Muhajir misalnya meneruskan tradisi Kiai Sahal Mahfud, Kiai Nahrawi Abdus Salam dan para masyayikh lainnya yang mengarang kitab dalam bahasa Arab. Saya yakin masih banyak kiai lainnya yang memiliki tradisi menulis yang baik. Tantangannya tentu bagaimana agar kitab karangan para Kiai sekarang itu bisa menembus dunia internasional, dalam arti dipelajari dan ditelaah bahkan kalau bisa dijadikan buku wajib untuk para pelajar, santri dan mahasiswa di dunia Islam lainnya.

Itu artinya penekanan pada hafalan harus ditambah dengan kemampuan mengarang kitab. Rasanya cukup aneh kalau ratusan santri yang dikirim belajar di Timur Tengah, begitu meraih gekar Lc buru-buru pulang dan akhirnya hanya menambah daftar penceramah atau Ustadz lokal semata. Kita tentu berharap mereka bisa melakukan lebih dari itu. Selain jangan buru-buru pulang, dan tidak puas hanya meraih Lc, kita sangat mendambakan mereka lanjut sampai meraih gekar doktor dan kemudian kalau bisa juga mengajar di universitas Islam di Timur Tengah. Tidak cuma jadi santri di al-Azhar tapi juga bisa jadi Kiai di al-Azhar!

Sejak tahun 1970-an Pemerintah telah menerapkan kurikulum nasional termasuk ke lingkungan pesantren. Ada standarisasi kurukulum. Tentu saja tujuan Pemerintah itu baik, namun secara tidak langsung telah mengikis kekhasan keilmuan masing-masing pesantren. Dulu para santri itu berkeliling belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Kalau mau belajar ilmu alat ke pesantren A, kalau mau belajar ilmu Hadis ke pesantren B, dan kalau mau mendalami Fiqh belajarlah ke pesantren C, bahkan kalau mau mengolah batin dan ilmu kesaktian belajarlah ke pesantren D. Masing-masing Kiai punya kekhasan saat mendirikan pondoknya. Namun setekah semuanya hendak distandarkan, maka kita melihat lulusan pondok sejak tahun 90-an menjadi merata ilmunya dan tidak lagi punya ilmu andalan yang menonjol. Sedikit banyak ini berpengaruh pada kualitas santri, dan pada gilirannya juga berpengaruh pada kualitas para Kiai karena setelah itu merekalah yang akan meneruskan tongkat estafet menjadi Kiai.

Kalau dulu kualitas santri binaan Kiai Cholil Bangkalan itu ya sekelas Kiai Hasyim, Kiai Wahab, Kiai BIsri dan Kiai As’ad. Kualitas santri binaan Kiai Hasyim itu sekelas Kiai Idris Kamali, Kiai Abbas Buntet, Kiai Asnawi Kudus, dan lainnya. Mereka itu boleh dibilang pada masanya sekualitas alumni s3 atau program doktor studi keislaman. Di masa sekarang, dengan sistem standarisasi kurikulum madrasah di pesantren maka lulusan pesantren itu hanya dianggap sekelas lulusan madrasah Aliyah. Timpang sekali bukan? Untuk membenahi kenyataan ini maka di sejumlah pesantren didirikan Ma’had Aly sehingga jebolan pondok punya pilihan mau meneruskan kemana apalah ke IAIN/UIN, PTN atau Ma’had Aly.

Ma’had Aly merupakan salah satu bentuk usaha pelembagaan tradisi akademik pesantren yang pendiriannya dilatar belakangi oleh kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pendidikan pesantren tingkat tinggi yang mampu melahirkan ulama, di tengah-tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Dengan kata lain Ma’had Ali merupakan lembaga kaderisasi ulama, sehingga di dalamnya tidak saja diajarkan ilmu-ilmu keagamaan (tafsir, hadits, fiqih dan teologi), tetapi juga ilmu-ilmu umum seperti sosiologi, antropologi dan filsafat. Sehingga alumnus Ma’had Aly dapat berpartisipasi dalam perubahan sosial di Indonesia dan dapat menjawab tantangan globalisasi. Tapi pertanyaannya tetap sama: bagaimana mempertahankan ciri khas keilmuan pesantren kalau kemudian kurikulum Ma’had Aly sama dengan kurikulum milik IAIN/UIN?

Kurikulum Ma’had Aly di Situbondo misalnya menempatkan ushul fiqh sebagai pusat konsentrasi kajian yang dinilai sangat strategis, Fiqh sebagai produk Istinbath dan ushul fiqh sebagai metedologinya diapresiasi secara integral menjadi konsenterasi kajian dan mendominasi rangkaian pembelajaran. Di sinilah dibutuhkan visi agar lulusan Ma’had Aly tidak sekedar berorientasi ijazah yang diakui pemerintah sehingga bisa menjadi pegawai negeri, tapi lebih dari itu mencetak para ulama yang mumpuni dan bisa menelorkan karya-karya bermutu yang dibaca dan dipelajari baik di tingkat nasional maupun internasional.

Kenapa dunia Islam membutuhkan kontribusi karya-karya ulama nusantara? Ini agar Islam yang diterapkan di tanah air bisa menjadi bahan diskusi bagi ulama mancanegara. Prof Martin van Bruinessen misalnya pernah mengajukan fakta yang cukup menggelitik: umat Islam di Turki, Mesir ataupun Saudi Arabia tidak mengenal dengan mendalam pemikiran brilian dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Padahal kebalikannya kitab karya para ulama dan cendekiawan Turki dan Mesir serta Arab Saudi dibaca dan dipelajari di tanah air. Mengapa demikian? Karena Gus Dur tidak punya waktu untuk menuliskan pemikiran beliau dalam kitab yang dibaca di Timur Tengah sana.

Ini pelajaran penting buat para santri di tanah air. Kalau pemikiran sehebat Gus Dur saja tidak menjadi bahasan di kurikulum universitas Timur Tengah, bagaimana dengan kita? Kita boleh jadi tidak sehebat Gus Dur, tapi kita bisa belajar dari hal-hal yang belum sempat dilakukan Gus Dur yaitu menulis dalam bahasa yang dibaca oleh para ulama dan cendekiawan dunia Islam. Tantangan pada masa Gus Dur tentu berbeda dengan tantangan yang dihadapi santri generasi pasca Gus Dur.

Di sinilah kita bisa berusaha untuk meneruskan apa yang telah dilakukan para ulama kita dulu dengan melahirkan karya-karya bermutu di panggung internasional. Mudah untuk dituliskan, tapi sukar untuk dilakukan, bukan?

Tabik,

 

Nadirsyah Hosen

(dimuat di edisi terbaru Majalah Pesantren Tebuireng)