You are here:

Perintah Ilahi: Jangan Memaki Sesembahan Mereka!

Mari kita bahas Tafsir surat al-An’am ayat 107-108:

[aswaja_translation]”Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukanNya. Dan Kami tidak menjadikan engkau pengawas bagi mereka; dan engkau sekali-kali bukanlah pemeihara bagi mereka. Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, maka akibatnya mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami perindah bagi setiap umat amal mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia beritahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”[/aswaja_translation]

Kalau Allah mau, semua penduduk dunia ini beriman kepada Allah, tapi Allah hendak menguji hambaNya dan mengundang mereka beriman melalui kesadaran dan bukti-bukti Allah yang Allah berikan, termasuk dengan menghadirkan para utusanNya, yang bertugas mengajak, menasehati dan menjelaskan; bukan memaksa, menindas atau meneror mereka.

Jadi, tidak perlu marah atau sedih kalau orang musyrik tidak menghiraukan dakwah Islam. Nabi pun pernah diingatkan ”Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia dibumi. Maka apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua? ( QS Yunus 10:99).

Petikan ayat 107 di atas lebih jauh lagi menegaskan bahwa Nabi bukanlah “hafizh” dan “wakil” mereka. Tafsir Sayyid Thanthawi menjelaskan:

[aswaja_arabic display=”block”]‎وقوله وَما جَعَلْناكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظاً وَما أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِوَكِيلٍ أى: وما جعلناك عليهم حفيظا يحفظ عليهم أعمالهم لتحاسبهم وتجازيهم عليها وما أنت عليهم بوكيل تدبر عليهم أمورهم وتتصرف فيها، وإنما أنت وظيفتك التبليغ[/aswaja_arabic]

[aswaja_translation]”Bukanlah engkau sebagai “hafizh” mereka yang bermakna mengawasi untuk memberi sanksi dan ganjaran, dan engkau juga bukan “wakil” yang mengatur urusan mereka dan mengelolanya. Sesungguhnya tugas engkau itu hanya menyampaikan (tabligh).”[/aswaja_translation]

Penjelasan di atas senada dengan ayat-ayat lainnya:

[aswaja_translation]”Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah)” (Asy-Syura: 48)[/aswaja_translation]

[aswaja_translation]”Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka” (Al-Gasyiyah: 21-22)[/aswaja_translation]

[aswaja_translation]”karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedangkan Kami lah yang menghisab amalan mereka” (Ar-Ra’d: 40)[/aswaja_translation]

Setelah mengupas posisi Nabi Muhammad di atas, menurut Sayyid Thantawi tibalah di ayat selanjutnya Allah memberi petunjuk kepada keagungan akhlak: melarang untuk memaki sesembahan orang lain.

Ijinkan saya mengutip penjelasan Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir:

[aswaja_arabic display=”block”]‎ينهى الله تعالى رسوله والمؤمنين عن سب آلهة المشركين، وإن كان فيه مصلحة، إلا أنه يترتب عليه مفسدة أعظم منها، وهي مقابلة المشركين بسب إله المؤمنين، وهو اللَّهُ لا إِلهَ إِلَّا هُوَ كما قال ابن عباس.‎لا تسبوا أيها المسلمون آلهة المشركين التي يدعونها من دون الله إذ ربما نشأ عن ذلك سبّهم لله عز وجل عدوانا، أي ظلما وتجاوزا منهم للحدّ في السباب والمشاتمة، لإغاظة المؤمنين، جهلا منهم بقدر الله تعالى وعظمته. وهذا يدل على أن الطاعة أو المصلحة إن أدت إلى معصية أو مفسدة تترك،[/aswaja_arabic]

[aswaja_translation]”Allah SWT melarang Rasul dan orang beriman dari memaki tuhan kaum musyrikin. Boleh jadi ada kemaslahatan dalam memaki tuhan mereka, namun mafsadat (kerusakan)nya jauh lebih besar, yaitu mereka akan membalas dengan memaki Allah kelewat batas, untuk melecehkan orang beriman, tanpa mereka memiliki pengetahuan akan kebesaran Allah. Ini menunjukkan bahwa ketaatan atau kemaslahatan jika membawa kepada kemaksiatan atau kerusakan, maka tinggalkanlah.”[/aswaja_translation]

Dengan kata lain, kalau kita memaki sesembahan mereka (meskipun dilandasi tujuan baik agar mereka tidak sesat) namun, kita bisa menjadi penyebab dari cacian yang mereka tujukan kepada Allah SWT. Jangan sampai gegara dakwah kita yang tidak santun, Allah yang kena caci-maki. Maka dua kaidah bisa kita pakai dalam dakwah, yaitu dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (menolak kejahatan diutamakan daripada mengambil manfaat) dan juga Sadd al-Dzari’ah, yaitu menutup semua pintu yang dapat menimbulkan kemudharatan.

Dakwah itu mengajak kebaikan dengan cara yang baik, sehingga hasilnya pun baik. Kalau kita berdakwah dengan bahasa yang baik, tanggapan mereka bisa baik dan bisa buruk; tetapi kalau kita menggunakan bahasa kasar dan caci-maki, boleh jadi mereka akan membalas caci-maki kita dengan lebih kasar lagi. Sampeyan ini sebenarnya mau dakwah atau ngajak berantem sih 🙂

Itulah sebabnya, Allah singgung dalam ayat di atas bahwa setiap umat memandang indah amal mereka masing-masing. Tabiat manusia memang demikian yaitu menganggap baik apa yang mereka kerjakan dan yakini. Orang musyrik menganggap baik sesembahan mereka dan cara mereka menyembah, kita pun demikian. Karena itu janganlah saling memaki.

Mari kita tunjukkan siapa yang paling baik akhlaknya dalam berdakwah. Tidak perlu kita menunjukkan keindahan agama kita dengan mengolok-olok atau memaki sesembahan dan ajaran agama orang lain. Kita tunjukkan keindahan dan kebenaran Islam dengan akhlak yang mulia. Ibaratnya, kalau kita yakin dan percaya diri dengan kecantikan istri kita, tidak perlu kan kita mengejek kejelekan dan membuka aib istri tetangga? Nikmati kecantikan istri kita lewat keindahan senyumnya, dan binar bola matanya. Cukup! Sudah, gitu aja.

Tabik,

Nadirsyah Hosen